PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek
kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. pendidikan Islam berorientasi
kepada duniawi dan ukhrawi. Didalam Islam kehidupan akhirat adalah lanjutan
dari kehidupan dunia. Islam sebagai agama yang universal berisi ajaran-ajaran
yang dapat membimbing manusia kepada kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.
Berdasarkan hal tersebut pendidikan Islam berfungsi untuk menghasilkan
manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah didunia dan kehidupan yang
indah diakhirat serta terhindar dari siksaan Allah yang maha pedih. Dalam
melaksanakan pendidikan Islam, peranan pendidik sangatlah penting artinya dalam
proses pendidikan, karena pendidik bertanggung jawab dalam menentukan arah
pendidikan tersebut. Oleh sebab itulah
Islam sangat menghargai orang yang mengamalkan ilmunya untuk
kemaslahatan umat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Dasar dan Pendidikan Nilai dalam Islam
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa nilai adalah sesuatu yang
sangat urgen baik secara psikologis, sosial, etika dan estetika yang selalu
didambakan oleh setiap insan yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian relevansi dengan kajian ini maka nilai yang hendak
dibentuk atau diwujudkan dalam peribadi anak didik sehingga fungsional dan
aktual dalam prilaku muslim, adalah nilai Islami yang melandasi moralitas
(akhlak).
Islam memberikan sistem nilai dan moral yang dikehendaki oleh Allah Swt.
Yang harus diimplementasikan dalam amal prilaku hamba-Nya dalam masyarakat.
Sistem nilai dan moral dimaksud adalah suatu keseluruhan tatanan yang terdiri
dari dua atau lebih dari komponen yang satu sama lain saling mempengaruhi atau
bekerja dalam satu kesatuan atau keterpaduan yang bulat yang berorientasi pada
nilai dan moralitas Islami. Jadi di sini tekanannya pada action system.[1]
Mengingat suatu pendidikan adalah proses pendewasaan anak manusia baik
intelektual, emosional maupun spiritual dan akan sangat berpengaruh pada masa
depan peserta didik, negara, bangsa dan agama maka harus dilakukan terprogram,
sistematis terpadu dan integral. Demikian halnya dengan landasan baik
operasional maupun yang lainnya. Sesuatu yang naif bila membicarakan pendidikan
Islam namun tercerabut dari landasan esensial yaitu nash (al-Qur’an dan
al-Hadits), maka berikut ini adalah sebahagian ayat dan hadits yang dianggap
dapat mewakili yang lain dan menjadi landasan pendidikan Islam.
1. Landasan Al-Qur’an
Sebagaimana dimaklumi bahwa al-Qur’an adalah landasan utama setiap
aktivitas umat Islam, aturannya mencakup semua aspek hidup dan kehidupan dan
bersifat universal. Demikian juga terhadap permasalahan pendidikan, banyak
ayat-ayat al-Qur’an yang berindikasi kepadanya, diantaranya adalah Surat Luqman
ayat 13-14:
øŒÎ)urtA$s%ß`»yJø)ä9¾ÏmÏZö/ewuqèdur¼çmÝàÏètƒ¢Óo_ç6»tƒŸwõ8ÎŽô³è@«!$$Î/(žcÎ)x8÷ŽÅe³9$#íOù=Ýàs9ÒOŠÏàtãÇÊÌÈ$uZøŠ¢¹ururz`»|¡SM}$#Ïm÷ƒy‰Ï9ºuqÎ/çm÷Fn=uHxq¼çm•Bé&$·Z÷dur4’n?tã9`÷dur¼çmè=»|ÁÏùur’ÎûÈû÷ütB%tæÈbr&öà6ô©$#’Í<y7÷ƒy‰Ï9ºuqÎ9ur¥’n<Î)çŽÅÁyJø9$#ÇÊÍÈ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (Q.S. Luqman: 13-14)
Tujuan atau orientasi pendidikan Islam adalah pemahaman dan
internalisasi nilai sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 187:
øŒÎ)urx‹s{r&ª!$#t,»sVŠÏBtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#¼çm¨Zä^ÍhŠu;çFs9Ĩ$¨Z=Ï9Ÿwur¼çmtRqßJçGõ3s?çnrä‹t7uZsùuä!#u‘uröNÏdÍ‘qßgàß(#÷ruŽtIô©$#ur¾ÏmÎ/$YYoÿsSWxŠÎ=s%(}§ø©Î7sù$tBšcrçŽtIô±o„ÇÊÑÐÈ
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima. (Q.S. Ali Imran: 187)
Selain itu, juga salah satu tujuan lain dari pendidikan adalah menjaga
diri dan segenap anggota keluarga dari siksa Allah, sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6:
$pkš‰r'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#qãZtB#uä(#þqè%ö/ä3|¡àÿRr&ö/ä3‹Î=÷dr&ur#Y‘$tR$ydߊqè%urâ¨$¨Z9$#äou‘$yfÏtø:$#ur$pköŽn=tæîps3Í´¯»n=tBÔâŸxÏî׊#y‰Ï©žwtbqÝÁ÷ètƒ©!$#!$tBöNèdttBr&tbqè=yèøÿtƒur$tBtbrâsD÷sãƒÇÏÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S. At-Tahrim: 6)
Berdasarkan ayat tersebut, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa setiap
orang wajib memelihara diri dan keluarganya ke jalan yang benar supaya semua
anggota keluarga terhindar dari api neraka. Oleh sebab itu, pendidikan dari
sebuah keluarga itu merupakan suatu yang sangat urgen dan mutlak diperlukan sehingga
syari’at Islam terinternalisasi dalam keluarga. Dengan demikian keluarga Islami
yang terdiri dari pribadi-pribadi yang Islami dapat terwujud.
Sumber ayat lain yang dapat dijadikan rujukan diantaranya dapat dilihat:
Q.s. al-Nahl:78, yang mengandung pengertian proses belajar itu dimulai sejak
lahir, dimana Allah menganugerahkan kepada setiap anak yang baru lahir dengan
pendengaran, penglihatan dan hati. Kesemuanya ini memungkinkan anak (manusia)
untuk memperoleh ilmu pengetahuan melalui belajar. Al-Qur’an surat al-Mu’min:
67 dan al-Hajj: 5, yang selanjutnya sejalan dengan isi kandungan dalam Q.s.
al-Nahl: 78.
Landasan naqli (nash) al-Qur’an tersebut barulah sebagian kecil indikasi
dan sinyalemen tentang urgensitas sebuah pendidikan dalam keluarga. Nukilan
tersebut hanya sebagai dalil dan bukti konkrit bahwa al-Qur’an dengan jelas
membicarakan masalah tersebut.
2. Landasan al-Hadits
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة (رواه إبن ماجه
Artinya: Dari Anas bin Malik Ra. Berkata, Rasulullah Saw. Bersabda “Menuntut ilmu itu adalah fardlu atas setiap muslimim dan muslimat” (H.r. Ibn Majah).[2]
Sesuai dengan hadits di atas bahwa menuntut ilmu pengetahuan merupakan
kewajiban bagi kaum Muslimin dan muslimat secara kontinuitas, sebagai amanah
Allah yang telah diwajibkan kepada mereka. Kewajiban belajar tersebut
berimplikasi pada adanya suatu lembaga yang dapat mengimplementasikan perintah
tersebut. Maka kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan formula di rumah
tangga di-taklif-kan atas orang tua sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
عن أبي هريرة رضى الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصرانه أو يمجسانه (رواه البخارى)[3]
Artinya: “Dari Abu Hurairah (ra) Rasulullah SAW bersabda: “tidak seorang anak pun yang baru lahir kecuali dia bersih, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi.”(HR.Bukhari).
Hadits tersebut di atas menunjukkan orang tua mempunyai peranan penting dalam
mendidik anak dan keluarga, sebab kedua orang tuanya yang akan mewarnai anaknya
dengan Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Dominasi peran orang tua dalam pendidikan
anak merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, maka konsekwensinya
adalah anak sebagai hamba lemah selalu membutuhkan orang dewasa untuk mendidik
dan membimbingnya ke arah kedewasaan dan intelektualitas. Dengan bahasa lain
lingkungan keluarga mendominasi perubahan prinsip, sikap dan sifat anak, maka
jika lingkungan keluarga baik otomatis potensi kebaikan yang ada pada diri anak
akan terus berkembang demikian juga sebaliknya.
Kewajiban belajar juga dapat dipahami melalui penelaahan hadits sebagai
berikut:
عن ابن عمر رضىالله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ...الرجل
راع فى أهله ومسؤول عن رعيته والمرأة راعية فى بيت زوجها ومسؤولة عن رعيتها (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: Ibnu Umar r.a berkata, Rasulullah Saw Bersabda, ...suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan bertanggungjawab terhadap mereka. seorang isteri adalah pemimpin rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dia akan bertanggungjawab terhadap mereka (HR. Bukhari, Muslim)[4]
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa pembelajaran harus diberdayakan
baik secara langsung maupun tidak langsung oleh kedua orang tuanya. Taklif yang
dipikulkan kepada laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu) berupa tanggung jawab
atas keselamatan diri, anak, harta dan segala sesuatu yang menjadi miliknya
atau yang diamanahkan kepadanya. Tanggung jawab tersebut juga meliputi
kesehatan, kesejahteraan fisik, mental moral serta kebahagiaan yang bersifat
ukhrawi.[5]
Mencermati ayat-ayat maupun hadits di atas, dapat diketahui bahwa konsep
belajar sejak dari rumah tangga dalam perspektif Islam telah dicanangkan
bersamaan dengan tugas Nabi Muhammad sebagai Rasulullah. Melihat kenyataan ini
konsep belajar sepanjang hayat versi Barat (UNESCO) baru terfikirkan sejak
tahun 1970 yang disebut sebagai Tahun Pendidikan Internasional, yang bersumber
dari gagasan Paul Lengrand dan Laporan Faure 1972. Pada dekade 1980-an muncul
gagasan lebih baru lagi dari life long education, menjadi no limits to study,
belajar tanpa batas.[6] Latar belakang yang mendorong konsep ini
adalah perubahan konseptualisasi sekolah yang tidak lagi dipandang sebagai
satu-satunya tempat atau masa untuk belajar, tetapi sekolah adalah salah satu
mata rantai dari konsep belajar sepanjang hayat tersebut.
Sedangkan dalam operasional aplikasi dalam tataran Negara Indonesia pendidikan
sejak usia dini dalam lingkungan tri pusat pendidikan (rumah tangga, sekolah
dan masyarakat) adalah sebagai mana disebutkan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 jo
TAP MPR No. IV/MPR/1978, tentang GBHN dalam Bab IV Bagian Pendidikan
ditetapkan: Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam
lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat.[7]
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa baik secara normatif religius
maupun operasional pendidikan agama dalam rumah tangga, sekolah dan masyarakat
mendapat jaminan dan kekuatan hukum positif manusiawi serta agama ilahiyah.
Karenanya tiada alasan bagi orang tua untuk tidak melaksanakannya bahkan
pendidikan itu merupakan kewajiban dan kebutuhan.
B. Sistem Pendidikan dan Tujuannya
Sistem nilai atau moral yang dijadikan kerangka acuan yang menjadi
rujukan cara berprilaku lahirian dan rohaniah manusia muslim adalah nilai dan
moralitas yang dijarkan oleh agama Islam sebagai wahyu Allah, yang diturunkan
kepada utusann-Nya Muhammad Saw. Nilai dan moralitas Islami adalah bersifat
integral tidak terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang satu sama lainnya
berdiri sendiri. Suatu kebulatan nilai dan moralitas itu mengandung aspek
normatif (kaidah, pedoman) dan operatif (menjadi landasan amal perbuatan).
Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu dapat dianalisis dari segi
sistemik atau pendekatan sistem. Dari segi ini pendidikan Islam dipandang
sebagai rposes melalui sistem yang terdiri dari sub-sub sistem atau
komponen-komponen yang berkaitan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam.[8]Konsep dan pemikiran tersebut terinspirasi
dari fenomena gerakan yang sistematik seperti yang terdapat dalam mekanisme
benda-benda samawi secara makrokosmik dan dalam tubuh manusia sendiri secara
mikrokosmik.
Orientasi pendidikan Islam adalah kebutuhan umat manusia yang
mendambakan kemajuan yang mensejahterakan hidupnya masa kini dan masa depan
sampai hidup di alam akhirat. Watak ilmu pendidikan Islam adalah sistematis dan
konsisten menuju arah tujuan yang hendak dicapai. Untuk itu maka pendidikan
Islam membutuhkan pemikiran sistematik dan mengarahkan prosesnya dalam
sistem-sistem yang aspiratif terhadap kebutuhan umatnya. Bila tidak demikian
maka, akan timbul gangguan dan hambatan teknis operasional yang dapat
menghilangkan orientasinya yang benar.
Pendidikan berfungsi untuk menumbuh kembangkan potensi subjek didik ke
arah yang positif, meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam
proses pendidikan dewasa ini terlihat adanya ketimpangan antara pendidikan
nilai dengan pendidikan keilmuan dan ketrampilan. Akibatnya muncul beberapa
fenomena sosial yang memprihatinkan, prilaku menyimpang, tidak sesuai dengan
nilai-nilai keagamaan dan tidak sesuai dengan norma-norma sebagai warga negara
yang baik.
Gejala tersebut menunjukkan kegagalan pendidikan nilai keagamaan. Memang
sebagaimana diungkapkan oleh M.I. Soelaeman bahwa kebijakan mengenai pendidikan
religi hanya diberikan “pendidikan tentang religi” dan tidak “pendidikan
religi” ataupun pendidikan ke arah kehidupan religius. Religi ditempatkan di
luar pribadi manusia, tidak terjamah oleh pribadinya, tidak dipersonisasikannya
dan tidak direalisasikan dalam prilaku keseharian melainkan sekedar menjadi
hiasan intelektual belaka.[9]
Pandangan “objective oriented” (berorientasi pada tujuan) mengajarkan
bahwa tugas guru yang sesungguhnya bukanlah mengajarkan ilmu atau kecakapan
tertentu pada anak didiknya saja, akan tetapi juga merealisir atau mencapai
tujuan pendidikan. Ultimate goals (sasaran utama) pendidikan merupakan sentral
dalam proses pendidikan, karena tanpa tujuan yang jelas proses pendidikan akan
berjalan tidak efektif dan tidak efisien, kepentingan ini dapat dipelajari dari
firman Allah SWT.
فايـن تــذهبـــون ) التكوير: 26)
Artinya:
Maka kemanakah kalian akan pergi? (Q.S. al-Takwir: 26).
Firman Allah ini pada prinsipnya ditujukan kepada orang-orang kafir yang
tidak insyaf akan tujuan hidupnya. Begitulah urgensitas tujuan dari sesuatu,
bila tidak jelas sasaran dari apa yang dimaksud, maka akan sesat di tengah
jalan.
Istilah “tujuan” atau “sasaran” atau “maksud”, dalam bahasa Arab
dinyatakan dengan ghayah atau ahdaf atau maqasid. Sedangkan dalam bahasa
Inggris, istilah “tujuan” dinyatakan dengan “goal atau purpose atau objective
atau aim”.[10]Secara umum istilah-istilah itu
mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada suatu
tujuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya atau
aktifitas.
Tujuan itu sendiri, menurut Zakiah Daradjat,[11]adalah sesuatu yang diharapkan tercapai
setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Sedangkan menurut H.M. Arifin,[12] tujuan itu bisa jadi menunjukkan kepada
futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat
dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. Perumusan tujuan
pembelajaran berfungsi sebagai pengarah kegiatan dan sebagai tolak ukur
efektivitas pencapaian hasil kegiatan tersebut, bahwa dengan adanya kejelasan
rumusan tujuan maka dapat diketahui telah sejauhmana tingkat perubahan tingkah
laku, sebagaimana dirumuskan dalam tujuan pembelajaran. Meskipun terjadi
variasi tentang pengertian tujuan, akan tetapi pada umumnya pengertian itu
berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud
tertentu.
Hery Noer Aly misalnya menuliskan tujuan pendidikan adalah mengakhiri usaha
pendidikan. Apabila tujuannya telah tercapai, maka berakhir pula usaha
tersebut.[13]Dengan demikian usaha membimbing yang
terhenti sebelum sampai ke tujuan, termasuk usaha yang gagal, yang antara lain
dapat disebabkan oleh tidak jelasnya rumusan tujuan pendidikan. Maka karena itu
perlu rumusan tujuan pendidikan.
Bentuk dan isi rumusan atau formulasi tujuan pendidikan bagi setiap
bangsa berbeda. Perbedaan itu disesuaikan dengan sistem nilai yang terkandung
dalam aspek-aspek kehidupan suatu bangsa dalam kurun waktu tertentu.[14]Walaupun demikian, minimal terdapat tiga
persamaan dari setiap tujuan pendidikan, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan memperbaiki atau bahkan mengubah sikap peserta didik.[15]
Keragaman rumusan tersebut merupakan hal yang kondisional dan
situasional, namun kejelasan sebuah tujuan mutlak diperlukan hal ini dijelaskan
oleh Robert Mager “jika tujuan pendidikan tidak dibatasi dengan jelas maka
ketetapan dan program mustahil berjalan dengan efektif, di samping itu kita
tidak memiliki dasar yang kuat untuk menyusun materi pelajaran, cakupan dan
metode pengajaran yang cocok”.[16]
Namun dalam perumusan tujuan pembelajaran juga perlu memperhatikan
potensi sumberdaya yang ada baik sumber daya manusianya maupun ketersediaan
sarana dan prasarananya. Penggunaan sarana yang tidak tepat, kesulitan bahkan,
kekeliruan, kegagalan disebabkan ketidak jelasan tujuan pendidikan.[17]Secara lebih rinci, manfaat pembatasan
tujuan adalah:
Mengembangkan arah perencanaan proses pendidikan yang baik dan bermutu
yang akan membangkitkan kesungguhan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Menyusun kekuatan antara berbagai instansi dan pihak terkait yang ikut berperan dalam membangun manusia, yang terpenting di antaranya adalah rumah, sekolah, media informasi serta lembaga budaya, olah raga dan seni.
Menyusun kekuatan antara berbagai instansi dan pihak terkait yang ikut berperan dalam membangun manusia, yang terpenting di antaranya adalah rumah, sekolah, media informasi serta lembaga budaya, olah raga dan seni.
Membatasi materi dan cakupan pengajaran, sarana dan metode yang cocok
serta segala kegiatan latihan dan praktek lapangan.
Memperbaiki komunikasi bagian-bagian administrasi, transparansi dan
membangunnya di antara para guru dengan administrasi sekolah di satu sisi dan
dengan administrasi pengajaran di sisi lain.[18]
Mengevaluasi, memperbaiki dan
mengembangkan metode, evaluasi tidak akan sempurna kecuali dengan adanya tujuan
pendidikan yang ingin dicapai, dengannya dimungkinkan menentukan kekurangan dan
kelebihan serta mana yang harus diatasi, diperbaiki dan dikembangkan.[19]
Mengevaluasi kemampuan siswa dalam melakukan aktivitas dan kegiatan yang
disukainya sebagai proses pembelajaran. Karena test merupakan stasiun utama
jalur belajar. Test yang diberikan adalah sebagai umpan balik (feed beck) bagi
guru, siswa dan orang tua tentang keberhasilan mereka dalam mewujudkan tujuan
pembelajaran dari cakupan yang diberikan[20] yang selanjutnya mewujudkan tujuan
pendidikan yang saling terkait.
Tujuan pendidikan membantu guru dan siswa menyusun waktu dan jadwal
kegiatan sesuai dengan tujuan tersebut serta tatacara mencapainya.
Berdasarkan uraian di atas nyatalah pentingnya pembatasan tujuan
pendidikan, baik tujuan umum maupun tujuan khusus pada setiap strata dan jenis
pendidikan bahkan setiap materinya, sebagaimana pentingnya menjaga keselarasan
dan susunan serta saling isi antara tujuan umum dan pembentukan dasar dari
falsafah sosial dan pengertiannya serta tujuan khusus tiap tingkat pendidikan
dan materi pelajaran.
Menurut Iman Ghazali, tujuan pendidikan yaitu membentuk insan pari
purna, baik di dunia maupun di akhirat.[21] Lebih lanjut dikatakan bahwa manusia
dapat mencapai kesempurnaan apabila berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan
fadilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadhilah ini selanjutnya
dapat membawanya dekat kepada Allah dan akhirnya membahagia-kannya hidup di
dunia dan di akhirat.
Berdasarkan paparan tersebut maka, pendidikan Islam merupakan suatu proses
yang dilakukan secara terpogram dan sistematis. Dengan demikian manajemen
terhadap unsur-unsur atau komponen-komponen pendidikan harus berjalan sinergis
mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Secara konseptual tujuan sebuah
pendidikan sangat dipengaruhi oleh idiologi dan falsafah lembaga. Namun
demikian esensinya harus menumbuh kembangkan dan memperkuat iman serta
mendorong kepada kesadaran beragama dengan mengamalkan ajarannya. Secara umum
dan ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam itu harus
mengandung berbagai aspek pembinaan manusia seutuhnya, sehingga nantinya ia
dapat hidup dengan baik sebagai manusia Pancasilais yang bertaqwa kepada Allah
menurut ajaran Islam.
C. Tripusat Pendidikan dalam Pembelajaran Islam
Lingkungan pendidikan agama Islam sebagai salah satu sistim yang
memungkinkan proses kependidikan Islam berlangsung secara konsisten dan
berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya yang disebut juga suatu
institusi atau kelembagaan pendidikan Islam.
Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa lingkungan pendidikan Islam
adalah suatu institusi atau lembaga dimana pendidikan itu berlangsung atau
disebut juga dengan lingkungan Tarbiyah Islamiah yaitu suatu lingkungan yang di
dalamnya terdapat cirri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya
pendidikan Islam dengan baik.[22]
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa lingkungan atau tempat
berguna untuk menunjang suatu kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan, karena
tidak satupun kegiatan yang tidak memerlukan tempat dimana kegiatan itu
diadakan. Sebagai lingkungan tarbiyah Islamiyyah, ia mempunyai fungsi untuk
menunjang terjadinya proses kegiatan pembelajaran secara aman, tertib dan
berkelanjutan.
Adapun
lingkungan pendidikan agama Islam (tarbiyah islamiyyah) adalah:
1) Rumah tangga
Islam mengajarkan bahwa pendidikan di dalam keluarga adalah pendidikan
pertama dan utama, yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani
dan rohani peserta didik yaitu kedua orang tuanya. Islam memerintahkan kedua
orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya, terutama anak-anaknya agar
terhindar dari azab yang pedih.[23]
Rumah tangga merupakan lingkungan pendidikan pertama bagi anak, karena
di rumah tangga anak-anak menerima pendidikan pertama kali, pendidikan di rumah
tangga merupakan fundamen untuk menerima pendidikan selanjutnya. Rumah tangga
adalah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada suatu keluarga kecil
ditambah dengan beberapa anggota lainnya yang tinggal dan hidup bersama dalam
satu rumah, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
Pendidikan di rumah tangga adalah segala usaha yang dilaksankan oleh
orang tua bersama anggota lainnya terhadap anak-anak sesuai dengan ajaran
agama. Orang tua harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, terutama
sekali pendidikan agama maka keluarga diharapkan dapat memainkan peranannya,
dalam membina masa depan putra putrinya secara berkualitas dan berdaya guna.
Begitu pentingnya peranan yang harus dimainkan oleh keluarga dalam
mendidik anak karena anak-anak dipandang sebagai fitrah dalam keluarganya, maka
keluarga bagi tiap-tiap orang adalah alam pendidikan yang permulaan. Pendidikan
yang pertama kalinya dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru atau
(penuntun), sebagai pengajar dan sebagai pemimpin pekerjaan atau pemberi
contoh.[24]
Oleh sebab itu keluarga sangat berperan aktif dalam pembinaannya
terhadap anak, yang tiada terlepas dari kewajiban dan fungsi-fungsinya dalam
mendidik anak-anaknya, mengenai kewajiban dan fungsi orang tua dapat kita lihat
dalam firman Allah SWT.
يَاَيٌُهَااْلٌَذِيْنَ امَنُوْاقُوْاَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارَا .... (التحريم : 6)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dari keluarga dari api neraka….”(Q.S At-Tahrim: 6)
Berdasarkan ayat di atas jelaslah bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab
yang sangat berat terhadap keselamatan keluarga pada ummnya dan pendidikan anak
pada khususnya, wujud keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama,
karena di sinilah anak-anak dilahirkan dan dididik, orang tualah sebagai guru
atau pendidik pertama bagi anak mereka.
Pada umumnya pengetahuan seseorang diteruskan oleh pendidikan,
pengalaman dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kecil dulu, seseorang
yang pada masa kecilnya pernah mendapatkan didikan agama maka pada dewasanya
nanti akan mendapatkan didikan agama pula dan pada dewasanya nanti ia akan
merasakan pentingnya agama dalam hidupnya.
Bertambah banyak pengalaman yang bersifat keagamaan (sesuai hidupnya
dengan ajaran agama) maka semakin banyak unsur agama dalam pribadi anak,
apabila dalam pribadinya banyak unsur agama, maka setiap tindakannya dalam
menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama. Apabila orang tua dapat
mendidik anaknya sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT, maka
sekaligus dia telah melaksanakan kejujuran.
Oleh karena itu pembentukan kehidupan beragama terjadi melalui
pengalaman yang diterimanya sejak kecil, semua pengalaman yang dialami si anak,
merupakan unsur terpenting dalam pembentukan kepribadiannya, sikap si anak
terhadap agama dibentuk pertama kali di rumah tangga melalui pengalaman yang
didapatnya dari orang tua.
Dalam pelaksanaan pendidikan agama di rumah tangga, selain bapak maka
ibu juga berfungsi untuk memelihara dan mendidik anak-anak sejak bayi dalam
kandungan sampai dewasa. Oleh karena itu harus mengambil peranan dan bahagia
yang utama karena dengan pendidikan dari ibu anak-anak akan memperoleh
kepribadian yang baik.
Oleh karena itu pengaruh orang tua sangat besar sekali dalam membina
pribadi anak, karena orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam
kehidupan anak, kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan
unsur-unsur pendidikan yang berlangsung dapat diterima ke dalam pribadi anak
yang sedang tumbuh.[25]
Kewajiban ini dipikulkan atas pundak ibu bapak sejak lahir sampai dewasa,
oleh karena itu apabila sianak dibiasakan untuk mengamalkan apa-apa yang baik
dan diberikan pendidikan yang baik itu pastilah ia akan tumbuh di atas
kebaikan, sebaliknya jikalau anak itu sejak kecil telah dibiasakan mengerjakan
keburukan dan dibiarkan begitu saja tanpa dihiraukan, maka akibatnya anak
itupun akan terjerumus ke perbuatan yang buruk sedang dosanya yang utama
tentulah dipikulkan kepada orang yang bertanggung jawab untuk memelihara dan
mendidiknya yaitu kedua orang tua.
Apabila orang tua memberikan pendidikan yang baik, anak-anak tersebut
akan selamat, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Demikian juga halnya bila
orang tua telah menanamkan pondasi keagamaan yang kuat dalam rumah tangga maka
anak-anak akan dapat berkiprah baik di luar rumah tangga serta siap untuk
menerima ilmu lanjutan di sekolah.
2) Sekolah
Di atas telah penulis jelaskan bahwa rumah tangga merupakan lingkungan
pendidikan agama yang pertama bagi perkembangan anak, maka lingkungan yang
kedua adalah sekolah. Sekolah adalah lingkungan kedua anak-anak berlatih dan
menumbuhkan kepribadiannya, sekolah bukanlah sekedar untuk menuangkan ilmu
pengetahuan ke otak murid, tetapi sekolah juga harus dapat mendidik dan membina
kepribadian anak di samping memberikan pengetahuan kepadanya.
Dalam memberikan pendidikan agama di sekolah pada anak, bukan hanya
tanggung jawab guru agama saja, akan tetapi termasuk tanggung jawab semua staf
pengajar baik guru umum maupun guru agama, setiap guru harus berjiwa agama
menjunjung tinggi ajaran agama walaupun ia tidak mendalaminya, namun
kepribadian, akhlak dan sikapnya tidaklah mendorong anak didik untuk mencintai
agama dan hidup sesuai dengan ajaran agama.[26]
Pendidikan agama yang diberikan di sekolah bukan hanya memberikan
tentang materinya saja di muka kelas, pembinaanya harus diperhatikan juga semua
faktor yang menyangkut dengan pendidikan itu seperti kepribadian pendidikan,
tempat pendidikan, hubungan guru dengan orang tua dan masyarakat di sekitar,
semua itu sangat mempengaruhi untuk mencapai tujuan. Bila hal itu dapat
dilaksanakan, sulitlah anak didik terjerumus ke dalam sesuatu kejahatan.
Guru di waktu memberikan pelajaran juga tidak terlepas sama sekali dari
suasana keagamaan dari akhlak, misalnya membiasakan memberi salam ketika masuk
ke dalam lokal, membaca bismillah di waktu memulai pelajaran, demikian juga di
saat memberikan pelajaran jangan lupa menjelaskan hubungan dengan kekuasaan
Allah swr. Sehingga ajaran agama dapat terbina ke dalam jiwa anak-anak
berdasarkan keyakinan.
Demikian juga tempat pendidikan, alat-alat yang dibutuhkan seperti
hiasan dan lain-lain jangan terlepas sama sekali dari ajaran agama, misalnya di
pintu masuk lokal ditulis dengan Assalamualaikum dan hiasan-hiasan dinding
lainnya dengan kalimat-kalimat yang mengagungkan kebesaran Allah SWT, sehingga
kapan dan dimana saja anak- anak selalu berada dalam suasana keagamaan.
Begitu juga di setiap sekolah disediakan sebuah mushalla, untuk melatih
dan membimbing anak-anak melaksanakan shalat, dalam pelaksanaan praktek ini
sebaiknya guru harus turut aktif membimbing anak-anak, sehingga dengan
latihan-latihan yang diterimanya baik secara teoritis maupun praktis, akan
tertarik untuk dilaksanakan di setiap waktu dengan penuh keimanan.
3) Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan pendidikan yang ketiga setelah rumah dan
sekolah karena di sini anak-anak dapat meniru dan mengamalkan dalam kehidupan
sehari-hari secara langsung apa yang ditemuinya. Masyarakat dalam hidupnya
sehari-hari harus mempunyai sikap toleransi satu sama lain, dan saling tolong
menolong dalam mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dikerjakan seorang diri dan
juga saling menghargai sesama masyarakat.
Pengembangan sifat-sifat kerja sama, gotong royong dan percaya
mempercayai sesama anggota masyarakat haruslah digalakkan agar menjadi contoh
teladan bagi generasi penerus. Pada umumnya pendidikan agama Islam dalam
masyarakat adalah melalui ceramah-ceramah agama di mesjid-mesjid, langgar dan
tempat-tempat pertemuan lainnya.
Dalam hal ini pemimpin masyarakat harus mengerti, memahami serta
melaksanakan ajaran agama Islam menurut semestinya, sehingga menjadi contoh
teladan bagi anggotanya dalam berbakti kepada Allah SWT. Sejalan dengan
pendapat di atas, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa “betapa pentingnya
menanamkan pendidikan terhadap anak dimulai dari rumah tangga dilanjutkan di
sekolah dan masyarakat serta mengupayakan kepedulian masyarakat terhadap
pendidikan agama”.
Mengusahakan supaya masyarakat, termasuk pemimpin dan penguasanya,
menyadari betapa penting masalah pendidikan anak-anak terutama pendidikan
agama, karena pendidikan moral tanpa agama, akan kurang berarti sebab
nilai-nilai moral yang lengkap dan betul-betul dapat dilaksanakan adalah
melalui pendidikan agama.[27]
Oleh karena itu pendidikan agama perlu diintensifkan, baik untuk
anak-anak maupun orang tua karena keyakinan beragama yang didasarkan atas
pengertian dan pengamalan yang sungguh-sungguh akan dapat terjadinya
tindakan-tindakan yang tidak bertentangan dengan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari, yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam bimbingan dan
penyuluhan yang akan menolong mereka menuju kebahagiaan hidup didunia dan
diakhirat kelak.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan ada
tiga, antara lain lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Lingkungan
keluarga adalah sebagai peletak pilar nilai-nilai ketauhidan dan dasar akhlak
Islami. Selanjutnya pengembangan dan penanaman nilai sosial serta berbagai
disiplin ilmu lainnya diperoleh dan tumbuh kembangkan di lingkungan sekolah. Sedangkan
dalam lingkungan masyarakat adalah sebagai wahana aplikasi interkasi dan
implementasi berbagai ilmu yang diperoleh, sekaligus sebagai cermin hasil
pembelajaran yang tersirat dalam aktualisasi diri.
D. Peranan Tripusat Pendidikan Dalam Internalisasi Nilai
Proses pendidikan Islam memiliki tugas pokok untuk membentuk kepribadian
Islam dalam diri manusia selaku makhluk individual dan sosial. Untuk tujuan
ini, proses pendidikan Islam memerlukan sistem pendekatan yang secara strategis
dapat dipertanggung jawabkan dari segi pedagogis. Dalam hubungan inilah,
pendidikan Islam memerlukan berbagai ilmu pengetahuan yang relevan dengan
tugasnya termasuk sistem pendekatannya.
Tujuan pendidikan yang dianut bangsa Indonesia berlandaskan kepada
falsafah hidup bangsa yaitu Pancasila. Ini menjadi pedoman pokok dalam
pendidikan yang dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan baik dalam
keluarga, masyarakat maupun di sekolah-sekolah. Jalannya proses itu baru
bersifat konsisten dan konstan (tetap) bilamana dilandasi dengan dasar
pendidikan agama yaitu Al-Qur’an dan hadist serta ijma’ ulama, yang mampu
menjamin terwujudnya tujuan pendidikan sebagaimana yang telah digariskan.
Tujuan mempelajari pendidikan Islam secara lebih luas dipaparkan oleh K.
Sukarji, sebagai berikut :
Tujuan pendidikan Islam untuk mendidik anak-anak supaya menjadi seorang
mukmin dan muslim sejati beramal saleh dan berakhlak karimah. Sehingga ia dapat
menjadi salah seorang anggota masyarakat yang sanggup hidup dengan
kemampuannya, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada bangsa dan tanah air
serta berbuat baik sesama umat manusia.[28]
Dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam dapat mempertimbangkan posisi
manusia sebagai ciptaan Allah SWT, yang sangat sempurna, karena sebagai
khalifah di muka bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat Al-Baqarah ayat
30, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Isi ajaran Islam mengandung peraturan-peraturan yang kongkrit, yang
memiliki fleksibelitas/ elastisitas maka akan selalu sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan zaman. Terbentuknya kepribadian muslim atau terwujudnya masyarakat
yang baik merupakan tujuan dan tugas dari pada pendidik agama yang bersumber
pada Al-Qur’an dan hadits. Namun sebelum belajar secara formal di sekolah,
anak-anak terlebih dahulu telah ditanamkan pada dirinya beberapa sikap dasar
dari lingkungan keluarganya, maka antara internalisasi nilai di sekolah harus
terjadi singkronisasi dengan keluarga dan masyarakat dimana anak-anak menjalani
hidup.
Dengan demikian tujuan pendidikan Islam, di dalamnya terkandung
nilai-nilai pandangan Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan
oleh M. Arifin bahwa :
Tujuan pendidikan Islam atau tujuan-tujuan pendidikan lainnya,
mengandung di dalamnya suatu nilai-nilai tertentu sesuai pandangan
masing-masing yang harus direalisasikan melalui proses yang terarah dan
konsisten dengan menggunakan berbagai sarana fisik dan non fisik yang sama
sebangun dengan nilai-nilanya.[29]
Berdasarkan kutipan tersebut dapat disebutkan bahwa tujuan pendidikan agama,
diantaranya adalah penentuan akhlak mulia, mencapai kehidupan dunia dan akhirat
serta menumbuhkan jiwa ilmiah yang bernafaskan Islam. Dengan demikian
pendidikan agama adalah proses untuk penumbuh kembangan kepribadian muslim pada
manusia. Kepribadian tersebut yaitu segala tindakan dan aktivitas yang
dilakukan manusia setelah mengalami proses pendidikan agama, sesuai dengan
nilai-nilai Islam.
Lebih spesifik lagi, Zakiah Daradjat mengemukakan tujuan pendidikan
agama dalam lingkungann keluarga adalah “membentuk insan kamil dengan pola
taqwa yaitu manusia yang utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang
secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah SWT”.[30]Sedangkan dalam perspektif Oemar Muhammad
At-Toumy al-Syaibani adalah bertujuan sebagai “persiapan untuk kehidupan dunia
dan akhirat”.[31]
Melihat urgensitas pendidikan agama bagi para generasi penerus, maka
pendidikan sejak dini yang dimulai dari lingkungan keluarga adalah suatu
keharusan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nashih Ulwah bahwa “di dalam
keluarga anak pertama-tama menerima pendidikan, dan pendidikan yang diperoleh
dalam lingkungan keluarga ini merupakan penting atau utama terhadap
perkembangan pribadi anak.”[32]Berdasarkan kutipan dan diskripsi
tersebut kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa anak adalah anugerah sekaligus
amanah yang harus disyukuri dan diemban amanahnya. Diantara konsekwensinya
adalah membina, mendidik, membimbingnya hingga pada taraf kesempurnaan antara
jasmani dan rohaninya, membawa dan mengarahkan anak untuk menjadi ‘abid (hamba)
dan khalifah Allah di muka bumi ini. Maka untuk mensukseskan kedua tugas
tersebut harus dibekali ilmu dan iman yang harus dimulai dari rumah tangga.
BAB III
KESIMPULAN
Tujuan pendidikan Islam untuk mendidik anak-anak
supaya menjadi seorang mukmin dan muslim sejati beramal saleh dan berakhlak
karimah. Sehingga ia dapat menjadi salah seorang anggota masyarakat yang
sanggup hidup dengan kemampuannya, mengabdi kepada Allah dan berbakti kepada
bangsa dan tanah air serta berbuat baik sesama umat manusia
Isi ajaran Islam mengandung peraturan-peraturan
yang kongkrit, yang memiliki fleksibelitas/ elastisitas maka akan selalu sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan zaman. Terbentuknya kepribadian muslim atau
terwujudnya masyarakat yang baik merupakan tujuan dan tugas dari pada pendidik
agama yang bersumber pada Al-Qur’an dan hadits. Namun sebelum belajar secara
formal di sekolah, anak-anak terlebih dahulu telah ditanamkan pada dirinya
beberapa sikap dasar dari lingkungan keluarganya, maka antara internalisasi
nilai di sekolah harus terjadi singkronisasi dengan keluarga dan masyarakat
dimana anak-anak menjalani hidup.
Berdasarkan pernyataan di atas bahwa tujuan
pendidikan agama, diantaranya adalah penentuan akhlak mulia, mencapai kehidupan
dunia dan akhirat serta menumbuhkan jiwa ilmiah yang bernafaskan Islam. Dengan
demikian pendidikan agama adalah proses untuk penumbuh kembangan kepribadian
muslim pada manusia. Kepribadian tersebut yaitu segala tindakan dan aktivitas
yang dilakukan manusia setelah mengalami proses pendidikan agama, sesuai dengan
nilai-nilai Islam
DAFTAR PUSTAKA
Baihaqi, Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut
Ajaran Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001),
Damrodash Sarhan, al-Manahij al Mu‘asharah,
(Kuwait: Maktabah al-Falah, 1977), Muhammad Ziad Hamdan, Taqyîm al-Ta‘allum;
Asasuhu wa al-Tatbiqatuhu, (Dar ‘Ilm li al-Malayin, 1980),
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Islam
Versi Al-Ghazali, (terj. Fathurrahman May dan Syamsuddin Asyrafi), (Bandung:
Al-Ma‘arif, 1986),
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
M Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama
Di Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Cet I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975),
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di
Indonesia, Cet IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977),
H.H. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1994),.
Aba ‘Abd’l-Lah Muhammad bin Yazid al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995),
Aba ‘Abd’l-Lah Muhammad bin Yazid al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995),
Imam
Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung: Dahlan, tt),
Lihat Baihaqi AK, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),
Lihat Baihaqi AK, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),
K. Sukarji, Ilmu Pendidikan dan Pengajaran
Agama, (Jakarta: Indra Jaya, 1970),
M. Arifin, Ilmu ..., hal. 222. Lihat juga,
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, cet. III, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002),
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1992),
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wicaksana Ilmu, 1999), hal. 53.
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994),
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wicaksana Ilmu, 1999), hal. 53.
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994),
Endang Soenarya, Pengantar: Teori Perencanaan
Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, cet. I, (Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa, 2000),
Robert F. Mager, Preparing Instructional
Objectives, (Belmont, California: Feamon Publisher, 1962),
Muhammad Hadi ‘Afifi, al-Tarbiyah wa
al-Taghayyur al-Tssaqafiy, (Cairo: Anjalu Misriyyah),.
J. Jr. Lewis, Appraising Teachers Performance, (West Nyache, N.Y.: Parker Publishing Co., 1973),
J. Jr. Lewis, Appraising Teachers Performance, (West Nyache, N.Y.: Parker Publishing Co., 1973),
M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
Nashih
Ulwah, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asyifa’, 1990),
Oemar
Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979),
Tim Dosen FIK-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar
Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988),
[1]H.H. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. IV,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 139.
[2]Aba ‘Abd’l-Lah Muhammad bin Yazid al-Qazwayni, Sunan
Ibn Majah, Juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hal. 87.
[3]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, (Bandung:
Dahlan, tt), hal. 458.
[4]Ibid, hal. 452.
[5]Lihat Baihaqi AK, Pendidikan Agama dalam Keluarga,
Cet. I, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 26
[6]Baihaqi, Mendidik Anak dalam Kandungan Menurut Ajaran
Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), hal. 53
[7]Tim Dosen FIK-IKIP Malang, Pengantar Dasar-Dasar
Kependidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hal. 126.
[8]H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan
Teroritis dan Praktis Bersadarkan Pendekatan Indisipliner, Cet. IV, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996), hal. 116.
[9]M.I. Soelaeman, Suatu Telaah Tentang Manusia, Religi Pendidikan,
(Jakarta: Depdikbud. Dirjen. Dikti., PPLTK, 1998), hal. 100.
[10]M. Arifin, Ilmu ..., hal. 222. Lihat juga, Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, cet. III, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal. 65.
[11]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1992), hal. 29.
[12]M. Arifin, Ilmu…, hal. 223
[13]Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos
Wicaksana Ilmu, 1999), hal. 53.
[14]Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam,
Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994),
hal. 39.
[15]Endang Soenarya, Pengantar: Teori Perencanaan
Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem, cet. I, (Yogyakarta: Adicita Karya
Nusa, 2000), hal. 2-3
[16]Robert F. Mager, Preparing Instructional Objectives,
(Belmont, California: Feamon Publisher, 1962), hal. 3
[17]Muhammad Hadi ‘Afifi, al-Tarbiyah wa al-Taghayyur
al-Tssaqafiy, (Cairo: Anjalu Misriyyah), hal. 67.
[18]J. Jr. Lewis, Appraising Teachers Performance, (West
Nyache, N.Y.: Parker Publishing Co., 1973), hal. 104
[19]Damrodash Sarhan, al-Manahij al Mu‘asharah, (Kuwait:
Maktabah al-Falah, 1977), hal. 95
[20]Muhammad Ziad Hamdan, Taqyîm al-Ta‘allum; Asasuhu wa
al-Tatbiqatuhu, (Dar ‘Ilm li al-Malayin, 1980), hal. 28.
[21]Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Islam Versi
Al-Ghazali, (terj. Fathurrahman May dan Syamsuddin Asyrafi), (Bandung:
Al-Ma‘arif, 1986), hal 25.
[22]Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997), hal.111
[23]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 42
[24]Abudin Nata, Filsafat ..., hal. 111
[25]M Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama Di
Lingkungan Sekolah dan Keluarga, Cet I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hal.
28
[26]Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di
Indonesia, Cet IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 2.
[27]Zakiah Daradjat, Pembinaan Agama Dalam Pembinaan
Mental, Cet III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 45.
[28]K. Sukarji, Ilmu Pendidikan dan Pengajaran Agama,
(Jakarta: Indra Jaya, 1970), hal. 21
[29]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), hal. 222
[30]Zakiah Daradjat, Ilmu ..., hal. 29.
[31]Oemar Muhammad Al-Toumy al-Syaibani, Falsafah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 86.
[32]Nashih Ulwah, Pedoman
Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: Asyifa’, 1990), hal. 2.
No comments:
Post a Comment