Thursday, October 10, 2013

PENDIDIKAN DAN KAJIAN KEISLAMAN : Artikel keislaman

 
PENDIDIKAN ANAK
PENDAHULUAN
Pendidikan dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari asal terciptanya manusia itu sendiri. Kata pendidikan dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah (mengembangkan, menumbuhkan, menyuburkan) berakar satu kata dengan "Rabb" (Tuhan). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah sebuah nilai-nilai luhur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Terpisahnya pendidikan dan terpilahnya pendidikan dalam kehidupan manusia, berarti adanya disintegrasi dalam kehidupan manusia yang konsekwensinya melahirkan ketidak-harmonisan dalam kehidupannya.
Manusia adalah pelaksana dari pendidikan. Dalam al-Quran, manusia sebagai makhluk Allah yang mempunyai dua tugas utama yaitu sebagai Khalifah fi al-Ardh dan sebagai hamba (‘abid) yang diperintahkan untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan bekal dasar yaitu penglihatan, pendengaran, potensi akal (af-idah) dan dengan ketiga indera tersebut merupakan sarana dasar manusia dalam menerima pendidikan. walaupun pada awalnya manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apapun.
            Dalam makalah ini, pematerii mencoba menelusuri metode pendidikan prenatal perspektif Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Tuhfatul Maudūd bi Ahkāmil Maulūd.







BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP MENDIDIK ANAK SECARA ISLAMI

A. Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Orang yang terkenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyah sebenarnya bernama Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Saad bin Huraiz az-Zar’I ad-Dimasyqi Abu Abdullah Syamsuddin. Ayahnya pendiri kampung al-jauziyah dan kepala madrasah al-jauziyah serta guru di sekolah ash-Shadriyah. Dia dilahirkan di Damaskus tahun 691 H/ 1292 M dan berasal dari sebuah keluarga terhormat yang berilmu dan berharta. Ayahnya seorang guru Yang juga mengajar Ibnu Qayyim dan mempengaruhinya. Ibnu Qayyim adalah salah seorang tokoh reformis Islam.
Para ulama mengakuinya sebagai orang yang kaya dan berilmu. Dia berminat pada bidang hadits dan seluruh ilmu hadits, fiqih, syariat, ilmu kalam, tasawwuf, bahasa Arab, dan nahwu. Ibnu Qayyim merupakan murid Ibnu Taimiyah yang sangat menyayangi dan selalu bersama sang guru, mendukung pendapat-pendapatnya, meskipun kadang-kadang mendebat beberapa pendapatnya. Dialah juga orang yang mengajarkan buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan menyebarkan ilmunya.[1]
B. Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Tentang Pendidikan Anak Usia Dini
Keberadaan konsep pendidikan prenatal dalam Islam menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah bisa diketahui dari penolakannya terhadap orang yang mengingkari adanya fungsi indera pendengaran, penglihatan, dan hati bagi bayi dalam kandungan. Beliau berkata:[2]

وقد زعم طائفة ممن تكلم في خلق الإنسان أنه إنما يعطى السمع والبصر بعد ولادته
وخروجه من بطن أمه واحتج بقوله تعالى والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا
وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون واحتج أنه في بطن الأم لا يرى شيئا
ولا يسمع صوتا فلم يكن لإعطائه السمع والبصر هناك فائدة
وليس ما قاله صحيحا ولا حجة له في الآية لأن الواو لا ترتيب فيها بل الآية حجة عليه فإن
فؤاده مخلوق وهو في بطن أمه وقد تقدم حديث حذيفة بن أسيد والصحيح إذا مر بالنطفة
ثنتان وأربعون ليلة بعث الله إليها ملكا فصورها وخلق سمعها وبصرها وجلدها ولحمها وهذا
وإن كان المراد به العين والأذن فالقوة السامعة والباصرة مودوعة فيها وأما الإدراك بالفعل
فهو موقوف على زوال الحجاب المانع منه فلما زال بالخروج من البطن عمل المقتضى عمله
والله أعلم
Ada sebagian orang yang ketika berbicara tentang penciptaan manusia menduga bahwa manusia itu baru diberi fungsi pendengaran dan penglihatan itu setelah dilahirkan, keluar dari perut ibunya. Alasan yang mereka kemukakan pun adalah firman Allah dalam Surat an-Nahl ayat 78 yaitu:
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|ÁöF{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(an-nhl:78)

Mereka berdalih bahwa ketika berada dalam perut ibu, mereka tidak melihat sesuatu dan tidak pula mendengar satu suara pun, sehingga ketika masih di dalam perut itu pemberian fungsi pendengaran dan penglihatan tidak ada gunanya.
Dugaan yang mereka kemukakan sama sekali tidak benar dan argumentasi yang mereka bangun tidak bisa berangkat dari ayat tersebut. Karena huruf Wawu dalam ayat diatas tidak bisa diartikan sebagai pemberi kejadian secara beruntun. Ayat itu justru merupakan hujjah atas apa yang mereka argumentasikan itu. Sebagai petunjuk sebenarnya nuraninya ketika ia masih di dalam perut si ibu, sudah diciptakan.
Yang benar menurut ayat di atas adalah bila sperma itu telah berada di dalam rahim ibu selama empat puluh dua malam, Allah mengutus seorang malaikat untuk menyusup ke sperma tadi. Malaikat itupun kemudian memberikan bentuk, lalu menciptakan sistem pendengaran, penglihatan, kulit dan dagingnya. Demikianlah yang dimaksudkan dalam Ayat itu. Namun bila yang dimaksud mereka adalah wujud fisik mata dan telinga maka  sebenarnya daya atau fungsi dengar dan lihat itu sudah diciptakan pula dalam bentuk janin itu. Hanya saja pengaktifannya tergantung pada hilang tidaknya selubung yang membungkusnya, bila sudah hilang, yang artinya juga telah keluar dari perut ibu maka sistemsistem itu akan bekerja sesuai dengan fungsinya.[3]


Dipahami dari pernyataan Ibnu Qayyim di atas, bahwa manusia sejak berbentuk janin dalam kandungan sudah memiliki fungsi-fungsi jasmani yaitu: 1) pendengaran, 2) penglihatan, dan 3) hati. Dari fungsi-fungsi tersebut, janin bisa berinteraksi dengan keadaan internal dan eksternal rahim dan pendidikan dapat diterapkan pada janin.
Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyah tentang pendidikan anak terutama mengenai anak usia dini. Konsep pendidikan anak yang dikemukakan Ibnu Qayyim secara umum tertuang dalam karyanya Tuhfatul Maudud bi ahkamil Maulud. Dalam buku ini Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan konsep pendidikan anak yang muaranya diatur oleh tuntunan al-Quran dan Sunnah. Ibnu Qayyim juga menyoroti pentingnya proses perkembangan anak dari waktu ke waktu dan ia akan memberikan periodisasi pendidikan anak usia prasekolah. Keseluruhan konsep pendidikan anak usia dini perspektif Ibnu Qayyim al-Jauziyah ini dapat dikemukakan sebagai berikut.
Kegiatan pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga, tidak bisa dilepaskan dari pendidikan sebelumnya yakni dalam kandungan atau sebelum lahir (prenatal), sekitar saat kelahiran (perinatal), saat baru kelahiran (neonatal), setelah kelahiran (postnatal), termasuk pendidikan anak usia dini. Dengan demikian bila dikaitkan dengan pendidikan anak usia dini merupakan serangkaian yang masih ada keterkaitannya pendidikan sebelumnya. Sehingga dapat terwujudnya generasi yang unggul, dan pendidikan itu memang merupakan sebuah kebutuhan dalam kehidupan manusia.
Kita tahu bahwa kehidupan keluarga, baik di kota – kota besar maupun di desa, berubah dengan semakin kompleksnya, terutama permasalahan yang timbul mengenai pengasuhan anak usia dini. Orang tua yang sibuk bekerja di luar rumah meninggalkan anaknya yang diasuh oleh pembantu atau orang yang dekat dengan keluarga tersebut. Ibu – ibu yang tadinya mengasuh anak di rumah terpaksa harus bekerja untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Maka, hubungan orang tua dan anak pun menjadi renggang.
Komunikasi antara anak – anak dan orang tua menjadi terbatas, yaitu ketika pulang kerja. Anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan. Kondisi semacam ini, jika tidak terkontrol oleh orang tua, dapat menyebabkan pertumbuhan anak tidak berjalan secara optimal. Berangkat dari kondisi inilah, kehadiran pendidikan anak usia dini (PAUD) sangatlah penting, tentunya dengan memperhatikan potensi anak dan bakat-bakatnya, maka tujuan pendidikan anak dapat diarahkan sesuai dengan kemampuan untuk mencapainya.
Dalam konteks pendidikan anak usia dini, tanggung jawab orang tua mendidik anak dengan sabar dan seksama, serta mengetahui kondisi kebutuhan penyiapan pendidik yang mampu mengasuh dan membimbing anak usia sejak lahir sampai 6 tahun merupakan suatu keharusan. Hal ini dikatakan oleh Ali RA dalam kitabnya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
قال على رضي اللة عنه: علموهم و أدبوهم, وقال الحسن: مروهم طاعة اللة و علموهم الخير.[4]
Imam Ali R.A. berkata : “Ajari dan didiklah anak-anakmu, sedangkan Hasan berkata: ajaklah mereka untuk taat pada Allah dan ajarilah mereka tentang kebaikan.
و فى المسند,و سنن ابى داود, من حديث عمرو بن شعيب عن ابيه, عن جده قال: قال الرسول اللة صلى اللة عليه وسلم: مروا ابناءكم بالصلاة لسبع, واضربوهم عليها لعشر, وفزقوا بينهم فى المضاجع, ففى هذا الحديث ثلاثة امرهم بها, و ضربهم عليها و التفريق بينهم في المضاجع.[5]
Di dalam Musnad sunan Abu Dawud tentang hadis Amr bin syuaib dari ayahnya dari kakeknya . Rasul SAW bersabda : perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia 7 tahun , pukullah mereka jika mereka membangkang untuk shalat pada usia 10 tahun dan pisahlah tempat tidur mereka . di dalam hadis ini terdapat 3 tata karma dalam memerintah anak : 1. Memerintah mereka untuk shalat, 2. Memukul mereka jika membangkang 3. Dan memisah tempat tidur mereka.
Penjelasan diatas bahwa pentingnya adab dan akhlak bagi anak didik menurut Ibnu Qayyim karena dengan adab dan akhlak yang baiklah adalah sebuah hubungan orang tua dengan anak dapat terjalin dengan baik dan kondusif, yang pada gilirannya dapat menciptakan kelancaran komunikasi dan interaksi yang harmonis bagi keduanya.
C. Karakteristik Metode Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah diantara metode yang paling tepat dalam mendidik anak usia dini adalah melalui pembiasaan dan suri tauladan. Orang tua dapat melatih dan membiasakan anak-anak untuk dapat bangun akhir malam, dan melakukan shalat malam. Karena dengan pembiasaan tersebut akan bermanfaat bagi si anak kemudian hari, paling tidak, anak-anak akan menghargai bahwa waktu yang baik untuk urusan spiritualnya.
Di antara pandangannya tentang pendidikan anak, Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya yang khusus mengenai anak, Tuhfat al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, mengatakan:
ومما يحتاج اليه الطفل غاية الإحتجاج الاعتناء بأمر خلقه، فإنه ينشأ عما عوده المربي فى صغره منحر، وغضب ولجاج وعجلة وخفة مع هواه، وطيش وحدة وجشع, فيسعب عليه في كبره تلا في ذلك، وتصير في هذه الأخلاق صفاة وهيئات راسخة، وله تخرز منها غاية التخرز فصحته ولا بد يوما، ولهذا تجد اكثر الناس منحرفة أخلاقهم وذلك من قبل التربية التى نشأ عليها[6]
Anak kecil di masa kanak-kanaknya sangat membutuhkan seseorang yang membina dan membentuk akhlaknya, karena ia akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang menjadi kebiasaan (yang ditanamkan oleh para pendidik). Jika seorang anak selalu dibiasakan dengan sifat pemarah dan keras kepala, tidak sabar dan selalu tergesa-gesa, menurut hawa nafsu, gegabah dan rakus, maka semua sifat itu akan sulit diubah di masa dewasanya. Maka jika seorang anak dibentengi, dijaga dan dilarang melakukan semua bentuk keburukan tersebut, niscaya ia akan benar-benar terhindar dari sifat-sifat buruk itu. Oleh karena itu, jika ditemukan seorang dewasa yang berakhlak buruk dan melakukan penyimpangan, maka dipastikan akibat kesalahan pendidikan di masa kecilnya dahulu.
Di samping itu Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa:

وكذلك يجب أن يجتنب الصبي إذا عقل: مجالس اللهو والباطل والغناء والفواخش والبدع ومنلطق السوء، فإنه إذا علق بسمعه، عسر عليه مفارقته فى الكبر، وعز على وليه استنقاذه منه، فتغير العوائد من اصعب الأمور، يحتاج صاحبه إلى استجداد طبيعة ثانية، والخروج عن حكم الطبيعة عسر جدا[7]
.
Anak yang masih kecil seharusnya dijauhkan dari lingkungan hura-hura, kebatilan, tempat hiburan, mendengarkan suara keji, dan jorok, bid’ah, dan pembicaraan kotor. Sebab jika sudah menjadi kebiasaan dan menjadi pecandu berat dalam menyaksikan dan mendengarkan hal-hal tersebut, pada saat usia remaja (dewasa) akan sulit untuk dibebaskan dari kebiasaan tersebut. Merubah kebiasaan dan perilaku merupakan perkara yang paling sulit untuk dilakukan.

Anak-anak akan berkembang dan tumbuh paling baik dalam ketertiban dan keteraturan serta jauh dari hal-hal yang tidak baik. Mereka akan lebih bahagia kalau mereka mengetahui apa yang diharapkan, berupa yang baik dan indah, walaupun dalam kenyataannya anak-anak tanpa kompromi akan menelan semua yang dilihat dan didengarnya sekalipun buruk. Di sinilah peran orang tua dan pendidik untuk merencanakan dan menciptakan suasana yang kondusif untuk tumbuh kembang anak-anak ke arah yang baik.
Selanjutnya Ibn Qayyim menegaskan:

ويجنبه الكسل والبطالة والدعة والراحة، بل ياخذه باضدادها ولا يريحه إلا بما يجم نفسه وبدنه للسهل, فإن الكسل والبطالة عواقب سوء ومغبة ندم، وللجد والتعب عواقب حميدة[8]
Bahwa seorang anak hendaknya dijauhkan dari sifat malas, santai dan tidak mempunyai aktifitas positif, tetapi justru harus dibiasakan bekerja keras, sportif dan -melakukan berbagai kesibukan. Karena pada dasarnya orang yang paling bahagia adalah mereka yang dapat bekerja dan melakukan aktifitas-aktifitas positif dan kontributif, sehingga membiasakan anak dengan keseriusan dan kesungguhan belajar dan beraktifitas akan berdampak positif pada pola hidupnya di kemudian hari.
Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, tanggung jawab tarbiyah (pendidikan) anak itu berada di pundak orang tua dan pendidik (murabbi) apalagi ketika anak masih dalam masa awal pertumbuhan. Mereka sangat membutuhkan pembina yang selalu mengarahkan akhlak dan perilakunya, karena anak-anak pada masa itu sangat tidak mampu untuk membina diri mereka sendiri, sehingga mereka membutuhkan seorang qudwah yang menjadi panutan untuk diri anak dalam sikap dan perilakunya.
Dari beberapa pandangan Ibn Qayyim tersebut di atas, jelaslah bahwa anak-anak adalah sosok yang harus diakui eksistensinya sebagai obyek dan subyek pendidikan. Dengan demikian, ia harus mendapatkan pendidikan yang baik dengan cara mengarahkan, membimbing dan menumbuh-kembangkan potensi-potensi positif yang dimilikinya untuk persiapan di kehidupannya yang akan datang. Orang yang paling bertanggung jawab ini adalah orang tuanya., sebab kebanyakan kerusakan pada anak diakibatkan oleh orang tua yang mengabaikan hak-hak anak dan tidak mengajari mereka kewajiban agama dan Sunnah serta potensi-potensi yang dimilikinya.

D. Fase Perkembangan Anak menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah

a.       Fase Perkembangan Anak Sebelum Lahir (Periode Pranatal)
Periode Pranatal merupakan periode pertama dalam rentang kehidupan manusia dan merupakan periode paling singkat dari seluruh periode perkembangan manusia, namun dalam banyak hal merupakan periode yang sangat penting dalam keseluruhan tahap perkembangan, karena memberi dasar bagi perkembangan selanjutnya.

b.  Masa Sebelum Hamil (Masa Prakonsepsi)
Islam memandang bahwa proses pendidikan harus dimulai sejak anak masih dalam kandungan bahkan sejak calon suami memilih calon istri yang di kemudian hari menjadi orang tua dari anak. Karena, sifat-sifat fisik maupun psikis (kepribadian) orang tua dapat diturunkan secara genetik kepada anaknya. Hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya:

تخيروا لنطفكم فإن العرق دساس.
“Pilihlah tempat menanam nuthfahmu (istri), karena pengaruh keturunan itu sangat kuat.” (HR. Abû Dâwud)
Yang dimaksud pendidikan pada periode sebelum kehamilan adalah sebelum melakukan aktifitas jima’ kedua orang telah menjabarkan harapan-harapan dan kegiatan jima’ merupakan bagian dari konsep-konsep pendidikan yang pertama kali diletakkan sebagai pondasi untuk membangun kepribadian seorang anak didik. Uraian ini difahami dari penafsiran Ibn Qayyim atas firman Allah yang berbunyi:

فالان باشروهن وابتغوا ما كتب الله لكم[
Artinya;
“Sekarang bolehlah kamu bersetubuh dengan perempuanmu dantuntutlah apa-apa yang dihalalkan Allah bagimu”. (QS. Al-Baqarah:187).
Ibn Qayyim memberikan penafsiran ayat tersebut sebagai berikut:

لما حفف الله عن الامة بإباحة الجماع ليلة الصيام الى طلوع الفجر أرشدهم سبحانه وتعالى الى ان يطلبوا رضاه فى مثل هذا اللذة ولا يباشروهن بحكم مجرد الشهوة بل يبتغوا بها ما كتب الله لهم من الاجر. والولد يخرج من اصلابهم يعبد الله ولا يشرك به شيئا

Persisnya, dikatakan bahwa ketika Allah memberikan keringanan kepada umatnya dengan memperbolehkan melakukan persetubuhan pada malam puasa hingga terbit matahari. Ini lantaran suami isteri pada saat itu lebih berpikir bagaimana melampiaskan syahwatnya sehingga tidak lagi berpikir hal-hal lain. Sehingga Allah memberikan jalan keluar untuk mencari ridho-Nya sekaligus mencapai kenikmatan itu. Dan tidak sematamata menggauli isterinya hanya semata-mata pelampiasan nafsu saja tetapi agar didasarkan pada harapan untuk mendapatkan pahala yang telah dijanjikan untuk mereka[9].


Dari paparan Ibnu Qayyim di atas, bisa dipahami bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan untuk memprioritaskan calon isteri dengan kriteria sebagai berikut: 1) wanita beragama, 2) wanita yang mempunyai rasa kasih sayang yang tinggi, dan 2) wanita subur yang bisa memberikan anak atau keturunan karena keberadaan anak bagi orang tua bisa menyelamatkan orang tua dengan doa dan amal shalihnya. Pernikahan bukan hanya sebagai pelampiasan nafsu, tetapi memiliki hikmah yang lebih mulia yaitu: 1) sebagai ibadah untuk mendapatkan ridho Tuhan dan pahala-Nya, 2) memperbanyak keturunan, dan 3) kemulian bagi orang tua dalam agama dan sosial, ketika mempunyai anak.
c.        Masa Setelah Kelahiran
Sejak anak baru terlahir ke dunia, pokok-pokok pendidikan mulai diberikan secara tepat, yaitu:
• Penyambutan yang hangat akan kelahirannya
• Mengadzankan di telinga anak
1.       Fase Perkembangan Anak Sejak Lahir Hingga Usia Dua Tahun
Konsep Islam dalam pendidikan kepada anak yang baru lahir di antaranya dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yaitu:
• Mentahniq (meletakkan kurma dan menggosok-gosokkan ke langit-langit bayi dengan jari telunjuk)
• Melaksanakan Aqiqah
• Membedong
• Mencukur rambut
• Pemberian nama yang baik
• Menyusui, dan
• Menyapih anak
2.      Fase Perkembangan Anak Sejak Usia Dua Tahun Hingga Mumayyiz (5 s/d 7 Tahun)
Ibn Qayyim memandang bahwa anak-anak di awal masa pertumbuhan dan perkembangannya harus segera diberikan pendidikan melalui arahan, bimbingan dan pembinaan semaksimal mungkin sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai anak-anak yang shaleh, memiliki kepribadian yang baik.
Menurut fuqaha, seorang anak disebut mumayyiz ketika ia berumur antara 5 sampai dengan 7 tahun dan tidak jauh berbeda menurut pendapat Ibn Qayyim. Pendidikan pada masa ini dalam bentuk nasehat-nasehat yang arti dan tujuannya kepada pemeliharaan keutuhan pribadi anak, jangan meusak pendengarannya dengan kata-kata yang tidak pantas, sifat-sifat sosialnya, membatasi aktifitasnya.

3.  Fase Perkembangan Anak Menjelang Puber (9 s/d 10 Tahun)
Pada usia ini perkembangan akal semakin matang. Anak juga semakin kuat secara fisik dan semakin mampu melakukan ibadah serta semakin faham, oleh karena itu, ia boleh dipukul jika meninggalkan shalat sebagaimana diperintah Nabi Saw. Selain itu, ketika berusia sepuluh tahun, kondisi anak itu berbeda. Ia lebih mengenal dan lebih memahami. Oleh karena itu menurut Ibn Qayyim, pada usia tersebut, para ulama fiqh mewajibkan mereka untuk beriman.
4.       Fase Perkembangan Anak Masa Puber (12 s/d 15 atau 16 Tahun)
Masa ini merupakan masa detik-detik menunggu datangnya waktu ihtilam (masa baligh). Pertumbuhan fisik jasmani berlangsung secara cepat, lebih cepat dari perkembangan jiwanya. Oleh karena cepatnya pertumbuhan fisik yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan jiwanya, ia membutuhkan bantuan dan perhatian lebih.

5.  Fase Perkembangan Anak Masa Baligh (15 atau 16 Tahun)
Menurut Ibn Qayyim masa baligh adalah masa ihtilam pada setiap anak dan setiap anak tidak sama waktunya mulai usia 12 tahun sampai dengan 15 tahun.
Pada masa inilah anak sudah mempunyai tanggung jawab sendiri dalam kaitannya dengan syari’at agama. Maka pendidikan pada usia ini lebih ditekankan pada pemberian tanggung jawab.















BAB III
KESIMPULAN
Ibn Qayyim al-Jawziyyah merupakan tokoh pendidikan Islam dan sekaligus seorang psikologis. Pemikirannya tentang psikologi perkembangan dan pendidikan anak memberikan kontribusi yang sangat besar bagi khazanah pendidikan Islam.
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah diantara metode yang paling tepat dalam mendidik anak usia dini adalah melalui pembiasaan dan suri tauladan. Orang tua dapat melatih dan membiasakan anak-anak untuk dapat bangun akhir malam, dan melakukan shalat malam. Karena dengan pembiasaan tersebut akan bermanfaat bagi si anak kemudian hari, paling tidak, anak-anak akan menghargai bahwa waktu yang baik untuk urusan spiritualnya.












DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Suwaid, 2004. Mendidik Anak Bersama Nabi, Pustaka Arofah, Solo
Dr. Abdullah Nasih Ulwan, 1996. Pendidikan Anak dalam Islam. Pustaka Amani, Jilid I Jakarta.
 Gazi Saloom, S.Psi., judul asli Ad-Dirāsā an-Nafsāniyyah ‘inda al-‘ulamā’ al-Muslimin (Bandung: Pustaka Hidayah, cet.I, 2002)
Hasan Langgulung, 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta
Muhammad Utsmān Najāti, Dr., Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj.
Qayyim, Ibnu Al-Jauziyah, Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, Ditahkikkan oleh Abdul Qadir al-Arnauth, Damaskus


[1] Muhammad Utsmān Najāti, Dr., Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Gazi Saloom, S. Psi., judul asli Ad-Dirāsā an-Nafsāniyyah ‘inda al-‘ulamā’ al-Muslimin (Bandung: Pustaka Hidayah, cet.I, 2002), hlm. 357-358
[2] Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maudud,(Libanon: Daar Al-Kitab al-‘Araby, 2001), hlm. 220.
[3] Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah, op.cit., hlm. 220.
[4] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud , hlm. 188
[5] ibid, hal 188
[6] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah,Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud , hlm.200
[7] ibid, hal 210
[8] ibid, hal 230
[9] Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah, op.cit., hlm. 38.