Monday, October 7, 2013

proses penciptaan perempuan



A.    Proses Penciptaan Perempuan

Mengenai proses penciptaan perempuan dapat diketahui pada surat an-nisa ayat 1:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­u Ï%©!$# ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]tur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ
 Artinya:Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[1] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[2], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.

Dalam ayat ini, tidak disebutkan secara eksplisit nama Adam dan Hawa, tetapi diungkapkan dengan kata من نفس واحدة وخلق منها زوجها. Namun demikian, hal ini terungkap dengan bantuan ayat-ayat lain, misalnya (QS) 2: 30 dan 31, (QS) 3: 59, dan (QS) 7: 27, dan hadis-hadis Nabi Saw umumnya. Para  mufasir memahami dan meyakini bahwa yang dimaksud dalam ayat itu (من نفس واحدة ) adalah Nabi Adam (laki-laki) dan زوجها adalah Hawa (perempuan), yang dari keduanyalah terjadi perkembangbiakan umat manusia. Redaksi seperti itu sangat potensial untuk ditafsirkan secara kontroversial di kalangan para mufasir.
Kontroversi sesungguhnya bukan pada siapa manusia pertama, melainkan pada penciptaan Hawa, yang dalam ayat itu diungkapkan dengan kalimat من نفس واحدة وخلق منها زوجها. Persoalannya, apakah Hawa diciptakan dari tanah sama seperti penciptaan Adam atau diciptakan dari (bagian tubuh) Adam itu sendiri, yaitu tulang rusuk yang bengkok sebelah kiri atas?
Kata kunci penafsiran yang kontroversional itu adalah pada kalimat    من نفس واحدة وخلق منها زوجها. Apakah kalimat itu menunjukkan bahwa untuk Adam diciptakan istri dari jenis yang sama dengan dirinya atau diciptakan dari Adam itu sendiri?
Kalimat من نفس واحدة  sebagian mufasir memahami dengan makna khusus (Adam) dan sebagian memahami dengan makna umum (dari diri yang satu) atau jenis yang sama. Menurut ahli nahwu, makna khusus itu dalam kaidah istilah bahasa Arab disebut ma’rifah, sedangkan makna yang umum disebut nakirah. Makrifah ialah isim yang menunjukkan makna tertentu (sudah jelas). Contoh  الرجال قوامون علي  النساء sedangkan nakirah ialah isim yang menunjukkan makna yang tidak tertentu contoh رجال قوامون علي  النساء.
Tanda-tanda nakirah antara lain:
1. Isim nakirah menerima  الberpengaruh memakrifahkan isim nakirah contoh,
2. Isim nakirah menerima huruf ال.
Dikecualikan isim yang bisa menerima ال, tetapi tidak memberi makna takrip seperti lafadz dalam bentuk isim alam (nama) contoh  زيذ . Untuk itu, boleh memakai ال sehingga menjadi  الزيذ, tetapi ال tidak memberi makna takrif karena lafadz sebelum kemasukan ال sudah makrifah.[3]
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kalimat زوجها menunjukkan nakirah karena kalimat tersebut bisa menerima ال sehingga menjadilah الزجها . Apabila dipahami sebagai makrifah, maka tentu dalam ayat tersebut diungkapkan dengan  siti hawa.
Dengan demikian, ada dua penafsiran yang kontroversial. Pendapat pertama penciptaan Hawa berasal dari bagian tubuh Adam, yaitu tulang rusuk yang bengkok sebelah kiri atas. Pendapat kedua, Penciptaan Hawa sama sebagaimana penciptaan Adam, yaitu dari diri atau jenis yang satu, atau jenis yang sama dengan dirinya.

1.      Penciptaan hawa dari bagian tubuh adam

Pendapat ini berasal dari para mufasir klasik. Di antara mufasir yang berpandangan demikian antara lain; al-Thabary, dalam kitab tafsir jami’ al-bayan fi tafsir al-Qur’an,[4] al-Razy, dalam kitab tafsirnya Tafsir al-kabir Mafatih al-Gayb,[5]  al-Qurthubi dalam tafsir al-Jami’ li ahkam al-Qur’an,[6] Ibnu Katsir dalam tafsir al- Qur’an al-Azhim,[7] dan al-Zamakhsyari dalam kitab al-Kasysyaf al-Haqaiq al-Tanzil.[8] Kitab-kitab tafsir yang mu’tabar dan mu’tamad dari kalangan jumhur, semuanya menafsirkan kata nafs wahidah adalah adam, dhamir minha ditafsirkan dengan “dari bagian adam”, kata zaujaha ditafsirkan dengan  hawa, istri adam. Alasan mereka ialah adanya beberapa hadis nabi yang mengisyaratkan bahwa perempuan diciptakan dari salah satu tulang rusuk adam. Di antara hadis-hadis tersebut adalah:
   وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ اَلْآخِرِ فَلَا يُؤْذِي جَارَهُ , وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا , فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ , وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي اَلضِّلَعِ أَعْلَاهُ , فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمَهُ كَسَرْتَهُ , وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ , فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ) [9].(
وَلِمُسْلِمٍ : ( فَإِنْ اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ وَبِهَا عِوَجٌ , وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا , وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا )[10](

Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, dan hendaklah engkau sekalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita. Sebab mereka itu diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Jika engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya dan jika engkua membiarkannya, ia tetap akan bengkok. Maka hendaklah kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada wanita." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Menurut riwayat Muslim: "Jika engkau menikmatinya, engkau dapat kenikmatan dengannya yang bengkok, dan jika engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya, dan mematahkannya adalah memcerainya.

Al-Thabary menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan adalah Adam, kata ganti (dlamir) ditafsirkan dengan dari bagian tubuh Adam, dan kata ditafsirkan dengan Hawa (istri Adam) yang
diciptakan dari tulang rusuknya. Di sini, al-Thabary memberikan argumen dengan beberapa hadis.

Diriwayatkan dari Musa bin Harun berkata: “Saya diberitahukan oleh ’Amr bin Hammad dari Asbath dari al-Sa’d. Ketika Tuhan menempatkan Adam di surga, ia hidup dan berjalan sendirian tanpa didampingi pasangan. Suatu ketika, Adam tidur, ia bermimpi di samping kepalanya duduk seorang perempuan yang Allah ciptakan dari tulang rusuknya. Adam bertanya: Siapa Anda? Dijawab: Aku seorang perempuan. Adam bertanya lagi. Untuk apa Anada diciptakan? Dijawab: supaya kamu tinggal bersamaku.”[11]

Lebih lanjut, al-Thabary mengemukakan hadis yang menceritakan tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk,

Artinya: Dari Abu Hurairah berkata, sabda Rasulullah Saw, sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, kamu sekali-kali tidak bisa meluruskan dengan cara apapun, jika kamu menik matinya dalam keadaan bengkok, dan jika kamu memaksa untuk meluruskannya ia akan patah, dan mematahkannya berarti menjatuhkan talak kepadanya.[12]

Hadis riwayat Muslim yang lain:

Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. ... saling wasiat berwasiatlah kepada wanita karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok yang paling atas, jika engkau berusaha meluruskannya ia akan patah dan jika engkau membiarkannya ia tetap bengkok, maka saling wasiat mewasiatlah kepada waniat.[13]

Hadis tersebut merupakan dalil yang dipegangi oleh Fukaha dan sebagian yang lain menjelaskan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam berdasarkan firman Allah:

Artinya: Dan Nabi Saw menjelaskan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk.[14]

Dalam hadis tersebut, mengandung makna, lemah lembut kepada perempuan, berbuat baik kepadanya, bersabar menghadapi kebengkokan akhlaknya (tabiatnya) termasuk kelemahan akalnya dan larangan mentalak mereka tanpa ada sebab dan larangan juga untuk dipaksa meluruskannya.[15]

Selanjutnya, hadis riwayat Imam Bukhari:
Artinya: Saling wasiat mewasiatlah untuk berbuat baik kepada para wanita karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk dansesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau berusaha meluruskannya ia akan patah, dan jika engkau membiarkannya maka tetap bengkok, maka saling wasiat –wasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita.[16]

Potongan hadis ini seolah-olah mengandung isyarat bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam yang paling atas sebelah kiri dalam keadaan tidur. Demikian juga yang ditakhrijkan Ibn Abi Hazm dan selainnya dari hadis. Al-Nawawi menganggap sesuatu hal yang aneh. Fukaha meyakini bahwa hadis tersebut mengandung makna bahwa perempuan diciptakan dari sesuatu yang bengkok, dan  perempuan itu seolah-olah (Auja’) karena berasal dari yang bengkok. Kalimat dhamir itu ditujukan kepada tulang rusuk, bukan kepada tulang rusuk yang paling di atas. Dhamir juga menunjukkan kepada mu’annas dan muzakkar, tetapi hadis ini ditujukan kepada makna perempuan, dikuatkan dengan kalimat dan maksud dari kalimat dipatahkannya adalah bermakna talaq, berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Sufyan dari Abi al-Zanad sebagaimana telah disebutkan.[17]

Zaitunah Subhan menjelaskan secara rasional hadis di atas tidak bisa dipahami secara harfiyah. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi yang bisa dimengerti secara metaforis karena berisi peringatan kepada kaum pria agar menghadapi kaum wanita dengan bijaksana, tidak kasar dan tidak keras. Hal ini karena hadis Bukhari ini sanadnya sahih, sementara matan hadis Bukhari adalah suatu hadis yang belum tentu qat’i wurud dan dilalah-nya sehingga bisa saja hadis ini ditolak.[18]

Penulis setuju dengan pernyatan Zaitunah Subhan karena menurut ahli hadis, bahwa hadis dinilai shahih apabila sanad dan matannya shahih. Hadis dapat dijadikan hujjah apabila hadis tersebut qat’y alwurud wa qat ’y al-dhilalah. Al-Razi, dalam tafsirnya mafatih al-Gayb, menjelaskan bahwa ulama telah sepakat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan adalah Adam, dan adalah Hawa yang diciptakan oleh Allah dari salah satu tulang rusuk Adam. Pendapat ini senada dengan al-Thabary, al-Razi juga mengutip hadis Nabi Saw tentang penciptaan wanita dari tulang rusuk seperti yang telah dikutip oleh al-Thabary di atas. Namun demikian, al-Razi menambahkan keterangan bahwa tulang rusuk yang dimaksud adalah tulang rusuk Adam yang sebelah kiri. Mereka mengatakan, ketika Allah telah menciptakan Adam dan membuat ia tidur, kemudian Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam yang sebelah kiri, ketika Adam bangun, ia melihat Hawa, lalu tertarik kepadanya karena Hawa itu diciptakan dari bagian tubuhnya.[19]

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa wanita bersifat (bengkok). Pandangan ini diperkuat dengan hadis Rasulullah Saw, sebagaimana yang telah dikutip oleh al-Thabari.[20] Demikian juga pendapat Ibn Katsir,[21] ia banyak mengutip hadis-hadis tentang penciptaan wanita dari tulang rusuk Adam.

2.      Penciptaan hawa sama seperti penciptaan adam
Pandangan demikian ini, dapat ditemukan pada beberapa mufasir kontemporer di antaranya; Muhammad Abduh, Rasyd Ridla, dan mufasir Indonesia antara lain Quraish Shihab dan para feminis muslim seperti Amina Wadud Muhsin dan Riffat Hassan. Muhammad Abduh tidak sependapat dengan pemahaman ulama klasik, yang menafsirkan dengan Adam. Ia mengemukakan argumen bahwa bukanlah Adam karena kalimat selanjutnya berbentuk nakirah. Kalau dipahami sebagai Adam,29 maka seharusnya kalimat berikutnya adalah berbentuk makrifat. Menurutnya, ayat itu tidak dapat dipahami sebagai jenis tertentu. Hal itu karena khitab yang ada dalam ayat itu ditujukan kepada segenap bangsa yang tidak semuanya mengetahui Adam. Sebagian di antara mereka mengetahui Adam dan Hawa, sementara sebagian lain tidak. Bangsa Ibrani, misalnya,memahami manusia mempunyai keterkaitan sejarah dengan Adam. Sementara itu, bangsa Cina menisbatkan manusia kepada ayah yang lain dengan riwayat tersendiri dan lebih jauh sebelum Adam.30
Menurut Muhammad Abduh, pemahaman tentang Adam sebagai nenek moyang manusia, yang  kemudian menjadi dasar penafsiran ayat tersebut, lebih didasarkan pada sejarah bangsa Ibrani daripada al-Qur’an itu sendiri karena al-Qur’an tidak memberikan penjelasan tentang hal itu. Sementara itu, untuk mengetahui persoalan-persoalan di luar indra dan akal manusia, harus merujuk pada al-Qur’an. Apabila al-Qur’an tidak memberikan penjelasan, maka dapat mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada, dan tidak mencari penjelasan dari sumber yang lain.31
Muhammad Abduh mengatakan bahwa khitab dengan dalam al-Qur’an tidaklah bertentangan dengan hal ini. Panggilan semacam itu tidak berarti bahwa segenap manusia adalah anak keturunan Adam karena panggilan ditujukan kepada manusia pada saat konteks turunnya, yaitu anak cucu Adam. Adapun Adam yang telah diceritakan dalam surat al-Baqarah ayat 30-37 bukanlah makhluk yang pertama sekali di dunia. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa sebelum Adam di bumi ini sudah ada makhluk lain dengan jenis yang sama, dan penciptaan Adam serta keturunannya diharapkan menjadi khalifah yang mampu mengelola bumi dengan baik, tidak seperti makhluk sebelumnya yang membuat kerusakan dan saling membunuh.32
Penyebutan kata dalam bentuk nakirah pada ayat di atas yang dikuatkan dengan kata menunjukkan arti jumlah yang banyak, dan yang dimaksud dengan kata , bukanlah Adam dan Hawa, tetapi (suami dan istri). Hal itu menurut Muhammad Abduh karena keterangan tentang penciptaan (pasangan) setelah keterangan tentang penciptaan manusia tidak menunjukkan selang waktu, dan kata sambung tidak menunjukkan arti berurutan, tetapi merupakan tafsir dari yang .
Rasyid Ridha menjelaskan bahwa para mufasir yang menafsirkan dengan Adam tidak mengambil sumber dari nash al-Qur’an, tetapi dari pemahaman yang diterima begitu saja. Pemahaman itu menerangkan bahwa Adam adalah nenek moyang manusia. Ayat tersebut sama halnya dengan (QS) 7:  189, yang maknanya masih diperselisihkan yaitu ”Dialah yang menciptakan kamu dan darinya dia menciptakan istrinya agar ia merasa senang kepadanya.33
Selanjutnya, Rasyid Ridla mengatakan bahwa ide tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk pria adalah timbul dari ide yang termaktub dalam perjanjian Lama yang merasuk ke dalam hadis-hadis sehingga mempengaruhi pemahaman umat muslim. Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam kitab Perjanjian Lama, niscaya pendapat yang keliru itu tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang muslim. Para mufasir yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak merujuk pada ayat al-Qur’an, tetapi menjadikan pemahaman itu (Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam) sebagai sarana untuk menafsirkan ayat tersebut.34
Demikian pula al-Thaba’thaba’i dalam tafsir al-Mizan menegaskan bahwa wanita (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. Dia menambahkan bahwa ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan bahwa istrinya diciptakan dari tulang rusuk Adam, sebagaimana ditemukan dalam beberapa riwayat.35
Sementara itu, para feminis muslim tidak sependapat dengan penafsiran yang dikemukakan oleh kebanyakan mufasir klasik seperti al-Thabari, al-Razi, Ibnu Katsir, al-Zamakhsyari, dan al-Qurthubi.
Misalnya, Riffat Hasan mengatakan bahwa perempuan (Hawa) tidak diciptakan dari laki-laki (Adam). Munculnya sikap dan pandangan umat Islam bahwa Adam adalah ciptaan Tuhan yang pertama dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam, berasal dari Injil. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Riffat Hasan mengutip empat rujukan tentang penciptaan perempuan dalam genesis36 (kitab kejadian). Dalamkajian terhadap teks-teks genesis tersebut, diperoleh bahwa dalam bahasa Ibrani, istilah Adam berasal dari kata Adamah, yang berarti ’tanah’. Oleh karena itu, tidak dapat dipahami kalau Hawa diciptakan dari diri Adam karena Adam adalah istilah dalam bahasa Ibrani yang berarti tanah.37 Teks-teks Injil semacam itulah yang kemudian merasuki teks-teks hadis yang dengan berbagai cara telah dijadikan sarana untuk menafsirkan al-Qur’an.38
Selanjutnya, Riffat Hasan menjelaskan bahwa kata nafs bukan merujuk kepada Adam karena kata tersebut bersifat netral, bisa berarti laki-laki ataupun perempuan. Begitu juga kata Jawz, tidak berarti perempuan karena secara bahasa berarti pasangan: bisa laki-laki ataupun perempuan. Menurutnya, kata Jawz yang berarti perempuan hanya dikenal di kalangan masyarakat Hijaz, sementara di daerah lain digunakan kata Jawzah.39 Riffat Hasan berkesimpulan bahwa Adam dan Hawa diciptakan dari substansi dan cara yang tidak ada perbedaan di antara keduanya. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa Hawa diciptakan dari diri Adam, sedangkan hadis-hadis yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari diri Adam harus ditolak karena bertentangan dengan al-Qur’an, meskipun diriwayatkan oleh perawi terkemuka seperti Imam Bukhari dan Muslim.40
Amina Wadud Muhsin mengatakan bahwa al-Qur’an tidak menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari diri laki-laki ataupun menunjukkan bahwa asal-usul manusia adalah Adam. Hal itu dilihat dari kata yang berbentuk . Secara konseptual, kata tersebut mengandung makna netral, dalam artian bisa menunjuk kepada laki-laki dan bisa menunjuk kepada perempuan.41 Di samping itu, tidak bisa dipastikan bahwa Hawa adalah manusia pertama dari kalangan perempuan ataupun istri bagi Adam seperti yang selama ini dipahami. Hal itu dapat dilihat dari kata yang berbentuk , yang secara konseptual bersifat netral, tidak menunjuk kepada laki-laki ataupun perempuan. Secara umum, kata dalam al-Qur’an digunakan untuk menunjuk jodoh, pasangan, istri, dan kelompok. Karena sedikitnya informasi yang diberikan al-Qur’an tentang penciptaan , maka para mufasir klasik akhirnya mengambil dari Bible yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang
rusuk Adam.42
Tentang teknis penciptaan Hawa, Amina tidak mengemukakan pendapatnya secara tegas mengungkapkan  awa diciptakan dari tulang rusuk Adam seperti pendapat sebagian besar para mufasir, atau diciptakan sendiri secara terpisah dengan cara yang sama dengan penciptaan Adam seperti pendapat Riffat Hasan. Amina hanya  menjelaskan bahwa kata dalam bahasa Arab dapat digunakan sebagai preposisi kata depan (dari) untuk menunjukkan makna mencarikan sesuatu dari sesuatu lainnya dan dapat digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya.43
Apabila pada kalimat dalam surat an-Nisa’ ayat 1 digunakan fungsinya yang pertama (preposisi), maka maknanya Hawa diciptakan dari Adam, seperti pendapat para mufasir (al-Thabari, al- Zamakhsyari). Sebaliknya, bila digunakan fungsi yang kedua, maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis dan substansi yang sama dengan Adam, seperti pendapat Riffat Hasan dan Muhammad Abduh. Penggunaan yang terakhir ini dapat dilihat dalam (QS) 30: 21. Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya, tafsir al-Misbah, menyatakan bahwa memahami sebagai Adam menjadikan kata yang secara harfiyah berarti pasangannya adalah istri Adam yang populer bernama Hawa. Hal ini dikarenakan ayat itu menyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari yang berarti Adam, maka mufasir terdahulu memahami bahwa istri Adam diciptakan dari Adam sendiri.Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki. Banyak penafsir menyatakan bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok. Pandangan tersebut mereka perkuat dengan hadis Rasulullah Saw yang menyatakan:
Saling wasiat mewasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita. Karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok; kalau engkau membiarkannya ia tetap bengkok dan bila engkau berupaya meluruskannya ia akan patah. (HR. al-Tirmidzi melalui Abu  Hurairah).44

Hadis ini dipahami oleh ulama-ulama terdahulu dalam arti harfiyah. Namun, tidak sedikit ulama komtemporer memahaminya dalam arti metafora, bahkan ada yang menolak kesahihannya. Adapun yang memahami secara metafora menyatakan bahwa hadis itu mengingatkan pada pria agar menghadapi dengan bijaksana karena ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda dengan pria sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.45
Selanjutnya, Quraish Shihab menegaskan bahwa Allah menciptakan darinya, yakni dari itu pasangannya mengandung makna bahwa pasangan suami istri hendaknya menyatu. Oleh karena itu, mereka menjadi diri yang satu, yakni menyatu dalam perasaan dan pikirannya, dalam cita dan harapannya, dalam gerak dan langkahnya, bahkan dalam menarik dan menghembuskan nafasnya. Itu sebabnya, pernikahan dinamai yang berarti berpasangan di samping dinamai , yang berarti penyatuan rohani dan jasmani. Suami dinamai , istri pun demikian.46
Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite “dari satu diri” (), bukan dalam bentuk makrifat/definite (), berarti menunjukkan kekhususan, kemudian diperkuat lagi dengan kata “yang satu” () sebagai sifat dari . Tanpa dicantumkan kata , sebenarnya sudah cukup untuk menunjukkan arti ”dari satu diri” (). Semuanya ini menunjukkan bahwa substansi utama (the first resource), yaitu asal (unsur kejadian Adam), bukan Adamnya sendiri sebagai substansi kedua. Di samping itu, seandainya yang dimaksud pada kata ialah Adam, pertanyaannya, mengapa tidak digunakan kata (bentuk ), tetapi yang digunakan adalah kata bentuk ? Kata masuk kategori sebagaimana beberapa (nama benda-benda alam) lainnya, tetapi dalam al-Qur’an sering dijumpai sifat-menyalahi bentuk mawsuf-nya kemudian merujuk hakikat yang disifati, jika yang disifati hendak ditekankan oleh sang pembicara . Sebagai contoh (QS) 7: 56. () mestinya dikatakan () sebagai sifat dari () yang berbentuk , tetapi karena sifat merujuk kepada hakikat yang disifati, yakni yang berbentuk, maka sifat pun harus lalu digunakanlah kata .47
Tafsir Departemen Agama menerjemahkan kata . Ia menjelaskan bahwa menurut Jumhur mufasir, Adam adalah manusia pertama yang dijadikan oleh Allah. Kemudian dari diri yang satu itu, Allah menciptakan pula pasangannya yang biasa disebut dengan Hawa. Dari Adam dan Hawa berkembangbiaklah manusia. Dalam al-Qur’an, penciptaan Adam disebut dari tanah liat (QS) 6: 2, (QS) 32: 7, (QS) 38: 71, dan beberapa ayat lagi. Dalam an-Nisa’ 4: 1 disebutkan: Dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya. Kata-katadalam surat an-Nisa’ ayat 1 ini sering menimbulkan salah pengertian di kalangan awam, terutama di kalangan perempuan karena ada anggapan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk Adam, yang sering dipertanyakan oleh kalangan feminis. Ayat ini hanya menyebut yang diterjemahkan dengan menciptakan pasangannya dari dirinya. Ada juga yang mengatakan bahwa penciptaan dari rusuk Adam, dan
pertanyaan yang terdapat dalam beberapa hadis ada yang mengira dari al-Qur’an. Di dalam al-Qur’an, nama Hawa pun tidak ada, yang ada hanya Adam. Nama Hawa (Eva) ada dalam Bible. Manusia itu memberi nama Hawa kepada istrinya. Hal itu disebabkan dialah yang menjadi ibu semua yang hidup  (...Kejadian iii, 20) (Hawwa dari kata bahasa Ibrani Heva: dibaca Hawwah yang berarti hidup). Pernyataan bahwa perempuan diciptakan dari rusuk laki-laki, terdapat dalam perjanjian lama, kitab kejadian ii. 21-22. Lalu, Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak, ketika tidur Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dari rusuk yang diambil Tuhan adalah dari manusia itu, dibangunnyalah seorang perempuan lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.48 secara bahasa, berarti jiwa yang satu. Mayoritas agama memahami istilah ini dalam arti Adam.
Pemahaman tersebut menjadikan kata (pasangannnya) adalah istri Adam yang biasa disebut dengan nama Hawa. Karena ayat ini menyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari yaitu Adam, maka sebagian mufasir memahami bahwa istri Adam diciptakan dari Adam sendiri. Pemahaman ini melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Sebagian ulama memahami dalam arti jenis manusia laki-laki dan perempuan.49
Pemahaman demikian melahirkan pendapat bahwa pasangan Adam diciptakan dari jenis manusia, kemudian dari keduanya lahirlah manusia yang ada di bumi ini.50 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla serta feminis ternyata memilih bentuk penafsiran yang kedua karena penafsiran semacam itu tampaknya menyuarakan suara dan kehendak kaum perempuan, yang selama perjalanan sejarahnya dianggap sebagai makhluk kedua dan berkedudukan di bawah laki-laki.
Sebaliknya, penafsiran klasik ini yang mengatakan Hawa diciptakan dari Adam dianggap sebagai
pangkal dari segala bentuk penindasan terhadap perempuan karena perempuan dikatakan sebagai
makhluk kedua setelah laki-laki dan memiliki derajat yang lebih rendah.51
Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla tentunya dapat dipahamai apabila melihat pada prinsip yang digunakan mereka dalam menafsirkan al-Qur’an. Keduanya dalam menafsirkan al-Qur’an lebih dahulu melihat redaksi suatu surat sebagai satu keseluruhan. Di samping itu, mereka sangat selektif atau hati-hati menerima hadis ataupun pendapat sahabat yang belum diyakini kebenarannya, apalagi cerita-cerita Israiliyat yang diketahui berasal dari unsur-unsur di luar Islam. Mereka lebih mengutamakan pendekatan rasional daripada pendekatan tekstual rujukan hadis maupun pendapat sahabat, jika pendekatan rasioanal tersebut lebih mendekati kebenaran. Adapun masalah yang tidak dijelaskan oleh al-Qur’an, mereka lebih baik diam dan tidak memperpanjang pembicaraan. Itulah sikap hati-hati dan kritis yang dimiliki oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kemampuan mereka semacam itu karena didukung oleh lingkungan akademisnya yang rasional dan terasah semenjak dini, lebih-lebih selama mereka kontak dengan budaya Barat. 52
Selain itu, Penafsiran Muhammad Abduh tersebut tidak lepas dari semangat reformasi dan keinginannya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan serta berusaha menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat Islam. Dalam hal ini, dia melihat bahwa kondisi masyarakatIslam kurang memperhatikan persoalan-persoalan yang menyangkut jati diri kaum perempuan.53 Adapun Rasyid Ridha sebagai murid Muhammad Abduh, mengikuti jejak gurunya tersebut. Ia juga memiliki perhatian dan komitmen yang sama terhadap masyarakat Islam yang ada. Melalui tafsir al-Qur’an, keduanya berusaha memperbaiki kondisi masyarakat Islam pada waktu itu.54
Menurut Hamka, hadis ini tidak dapat dijadikan alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang sebelah kiri Nabi Adam. Setinggi-tingnya yang dapat diambil dari hadis ini hanyalah tabiat kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk yang kaku; dikerasi akan patah dankalau dibiarkan saja tetap bengkok. Dengan demikian, penasiran itu bukan dirinya yang dibuat dari tulang rusuk, melainkan perangainya menyerupai tulang rusuk. Dalam kaitan ini, yang jelas sekali adalah semua perempuan di dunia ini tidaklah terjadi dari tulang rusuk. Apatah lagi tulang rusuk suaminya? Adapun yang menjadi perhatian hanyalah tentang Hawa itu sendiri bukan semua perempuan.55
Menurut Zaitunah Subhan, kitab Bukhari dan Muslim keduanya merupakan kriteria hadis yang valid menurut mazhab al-Sunnah wa al-Jama’ah. Secara positif, rangkaian hadis tersebut diawali dan diakhiri dengan pesan Rasulullah Saw agar para suami berlaku bijak dan berhati-hati meluruskan kasalahan atau kehilafan para istri. Dalam kaitan ini, kemungkinan ada sifat atau tabiat kaum wanita yang tidak sama dengan kaum pria sehingga hadis dapat diartikan dengan makna metaforis atau kiasan, bukan makna tekstual. Bila diartikan secara tekstual akan bertentangan dengan al-Qur’an karena tidak satu pun firman Tuhan dalam al-Qur’an yang mendukung bahwa penciptaan wanita berbeda dengan penciptaan pria. Dalam hadis di atas, sekali-kali tidak disebut kata Hawa.56
Di samping itu, di dalam ayat tersebut kata nafs wahidah akan simpang siur bila diinterpretasikan kepada Adam. Jika Adam dipahami sebagai pria (muzakkar), sedangkan kata nafs wahidah itu tidakmerujuk kepada jenis muzakkar, melainkan lebih cenderung kepada jenis wanita mu’annas karena:
Pertama, ta marbutah (menunjukkan makna jenis wanita). Kedua, kata ganti(dhamir) Ha, kata ganti untuk untuk muannas (jenis wanita) sehingga ayat itu diinterpretasikan Adam, maka dhamir yang dipergunakan harus Hu (kata ganti untuk muzakkar, jenis pria). Akan tetapi, pada klaimat ayat tersebut berbunyi nafsin wahidah, wa khalaqa, minha, jauzaha. Kata nafsin wahidah bukan Adam karena bila dinisbahkan untuk Adam. Kata gantinya harus menggunakan hu karena Adam dipahami sebagai pria. Nafsin wahidah dalamayat di atas adalah unsur atau species yang sama atau jenis ras manusia.57
Ahmad Muhammad al-Syarqawi mengatakan bahwa tabiat perempuan berbeda dengan tabiat lakilaki karena berbedanya kepentingan masing-masing dalam kehidupan. Hadis Shahihain58 adalah berisi pesan terhadap laki-laki untuk lemah lembut kepada wanita, dan ajakan terhadap laki-laki untuk bersabar, sayang kepada wanita, serta memperhatikan tabiat mereka. Hadis-hadis tersebut tidaklah membawa pemahaman bahwa Hawa diciptakan dari Adam yang menyebabkan tulang rusuk Adam kurang bilangannya dari tulang rusuk Hawa. Kenyataannya, bilangan tulang rusuk laki-laki sama bilangannya dengan tulang rusuk perempuan.59
Mutawalli al-Sya’rawi menjelaskan makna hadis tersebut. Ia menyatakan bahwa watak alami perempuan dengan proporsi emosi yang lebih besar dibanding rasionalitas. Allah telah membuatnya berbeda, tidak seperti laki-laki yang rasionalitasnya mengungguli emosi. Tidak ada yang lebih tinggi baik laki-laki maupun perempuan. Kebengkokan dalam hadis itu tidak menunjukkan kekurangan atau ketidaksempurnaan sifat perempuan. Kebengkokan itu memungkinkan perempuan untuk melakukan tugasnya, berhubungan dengan anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan simpati yang kuat bukab rasionalitas. Kata-kata bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas menandakan kasih sayang perempuan terhadap anaknya dan perasaannya yang melampaui rasionalitas. Atas dasar ini kebengkokannya menjadi keistimewaan perempuan karena kebengkokan ini pada kenyataannya merupakan kualifikasi perempuan paling lurus untuk melaksanakan tugasnya.60
Kedua tokoh tersebut di atas memahami hadis-hadis tersebut dengan makna metaforis/kiasan. Keduanya tidak membawa kepada pemahaman bahwa Hawa diciptakan tulang rusuk Adam yang bengkok sehingga menimbulkan pemahaman negatif terhadap perempuan bahwa perempuan lebih rendah dari laki-laki karena ia diciptakan dari bagiannya. Bahkan, Mutawalli al-Sya’rawi menanggapi positif makna kebengkokan itu dengan paling lurus. Dalam hal ini, seorang perempuan sebagai ibu sangat menyayangi anak-anaknya dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas-tugasnya, meskipun mempunyai watak alami dengan proporsi emosinya yang lebih besar dibanding dengan rasionalitasnya.
Pemahaman kalimat min nafsin wahidah dengan makna diri yang satu atau jenis yang sama dengan penciptaan Adam. Dari sisi gender, dapat dipahami bahwa asal penciptaan Hawa sama dengan penciptaan Adam. Oleh karena itu, manusia diciptakan dari sumber substansi yang sama, yaitudiciptakan dari tanah. Hal itu disebutkan dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, misalnya QS. al-Hajj 22: 5, QS. al-An’am 6: 2, QS, al-Saffat, 37: 11, QS. al-Rahman 55: 14, QS. al-Hijr 15: 26, QS.al-Mukminun 23: 12.
Berdasarkan penafsiran dari kedua pendapat tersebut, penulis mengikuti penafsiran yang
dikemukakan pendapat yang kedua dari para mufasir kontemporer (Timur Tengah dan Indonesia) dan  para feminis yang berpendapat bahwa: bukanlah Adam, dan dhamir diartikan “dari jenis yang satu”. Hadis yang dijadikan landasan para mufasir klasik adalah hadis yang dikategorikan sahih, tetapi tidak bisa dipahami dengan makna harfiyah. Oleh karena itu, diperlukan interpretasi yang bisa dipahami dengan makna metafora atau kiasan. Kalimat tidak tepat diartikan dengan Adam dan dhamir juga tidak relevan dimaksudkan dengan Adam karena menunjukkan mu’annas atau perempuan, sedangkan Adam adalah muzakkar atau laki-laki.
Kalau dhamir ditujukan kepada Adam, maka seharusnya menggunakan dhamir yang menunjukkan muzakkar (laki-laki) dan bukan . Dengan demikian, dhamir itu menunjukkan bahwa istri Adam adalah Hawa yang diciptakan dari jenis yang sama dengan dirinya, bukan diciptakan dari (diri Adam itu sendiri) sehingga dapat membawa pemahaman bahwa penciptaan perempuan sama dengan penciptaan laki-laki yakni sama-sama diciptakan dari tanah.
Dalam hadis tersebut, tidak terdapat lafadz yang menunjukkan secara eksplisit yang berarti Adam dan Hawa yang dapat membawa kepada pemahaman bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adamsehingga dipahami bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki
Selanjutnya, hadis tersebut hanya berisi pesan terhadap laki-laki untuk berlaku lemah lembut
terhadap perempuan dan sayang kepada mereka, dan tidak berlaku kasar. Perempuan mempunyai tabiat yang berbeda dengan tabiat laki-laki yang diumpamakan dengan tulang rusuk yang bengkok, yang apabila dipaksakan untuk meluruskannya akan patah. Al-Qur’an lebih dari adil terhadap perempuan al-Qur’anlah yang untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia telah mengakui perempuan sebagai entitas yang sah dan memberi mereka hak dalam perkawinan, perceraian, harta dan warisan. Al-Qur’an secara berulang-ulang telah menekankan martabat
perempuan, haknya, dan harus diperlakukan dengan baik. Namun, begitu banyak literatur hadis dalam tafsir al-Qur’an kurang adil terhadap perempuan. Literatur hadis ini harus dilihat dalam konteks sosiohistorisnya.
Dengan perkataan lain, harus menekankan hal yang menjadi nilai normatif al-Qur’an dan
Hadis, dan membuang sesuatu yang kontekstual. Sesuatu yang normatif itu lebih berhubungan dengan Tuhan daripada hal kontekstual yang lebih berhubungan dengan manusia. Pembedaan ini dapat menolong dalam memposisikan hak-hak perempuan dewasa ini.61 Beberapa ayat al-Qur’an yang mengindikasikan bahwa perempuan harus diperlakukan secara sama. Harus diingat dalam pikiran, al- Qur’an mengajarkan semua orang beriman itu sama di hadapan Allah, sementara perempuan juga orang beriman sehingga harus memperoleh status yang setara. Lebih jauh ditekankan oleh al-Qur’an dalam Surat al-Taubat ayat 71.
Dengan demikian, orang-orang yang beriman (laki-laki dan perempuan) satu sama lainnya adalahkawan, dan keduanya melakukan hal yang telah diperintahkan oleh Allah. Oleh karena itu, di mata Tuhan, mereka memiliki statusnya yang setara dan keduanya telah dideklarasikan secara seksama dengan mendapatkan rahmat Allah. Hal ini adalah kata-kata al-Qur’an yang sangat penting, sejauh memperhatikan jenis kelamin.
Al-Qur’an memberikan tekanan secara jelas dalam ayat lain, yakni surat al-Ahzab ayat 35. Dari ayat tersebut, terlihat bahwa status perempuan telah ditunjukkan setara dengan laki-laki dalam segala halnya. Kedua jenis kelamin tersebut akan diberi pahala secara sama karena amalan baik mereka dan tidak ada perbedaan apapun yang akan dibuat antarmereka.

B.     Khitan bagi wanita


[1] Maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[2] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
[3] Baha al-Din Abdullah bin Aqil al-Qa’li al-Hida’i al-Misr, Syrah ibn Aqil (Beirut: Dar al-Zail, TT), Juz 1, cet. 1, hal. 76.
[4] Al-Thabary, jami’ al-bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Beirut: Daar-al-kutub al-Ilmiyah, 1978), Juz I, hal. 287.
[5] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Gayb (Beirut: Daar al-Fikr li at-Thiba’ah wa an-Nasyr wa al-Tawzi’, 1995), Juz IX, hal. 167-168.
[6] Al-Qurthubi, al - Jami’ li al-Ahkam al-Qur’an (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1966), Juz I, hal. 3.
[7] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, hal. 488.
[8] Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf al-Haqaiq al-Tanzil (Beirut: Daar al-Fikr,1977), hal. 492.
[9] صحيح . رواه البخاري (9 52 - 253 / فتح ) ، ومسلم ( 1468 ) ( 62 ) . "تنبيه" : هذا الحديث حقيقته حديثان ، ونبَّه على ذلك الحافظ نفسه في " الفتح " فإلى قوله : "جاره" حديث ، والباقي حديث ، وفي رواية مسلم لم يذكر الحديث الأول ، وإنما ذكر حديثا آخر، وهو : "من كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فإذا شهد أمرا فليتكلم بخير أو ليسكت
[10] صحيح . وهي رواية مسلم (61).
[11] Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah:1420H/1999), Juz III,Cet. ke-3, hal. 566.
[12] Muslim, Syarah Sahih Muslim (al-Qahirah: Muassasah al-Mukhtar, 2001),Juz X, Cet. I, hal. 60.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hal. 61.
[15] Ibid
[16] Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bary bi syarh sahih al-bukhari(Daar al-Matba’ah al-salafiyah, 1407H), Juz IX,Cet. ke-3, hal. 161.
[17] Ibid., hal. 162.
[18] Zaitunah Subhan, Tafsir kebencian, hal. 50.
[19] Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Gayb (Beirut: Daar al-Fikr li at-Tiba’ah waan-Nasyar wa at-Tawzji’, 1995), Juz, IX, hal.167-168.
[20] Al-Qurthubi,al-Jami’ li ahkam al-Qur’an (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah),Juz I, hal. 31.
[21] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, hal. 448.

No comments:

Post a Comment