Monday, October 7, 2013

tafsir al baqarah ayat 31-35



TAFSIR QS. AL-BAQARAH AYAT 31-35


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latang Belakang

Surat Al Baqarah yang 286 ayat itu turun di Madinah yang sebagian besar diturunkan pada permulaan tahun Hijrah, kecuali ayat 281 diturunkan di Mina pada Hajji wadaa' (hajji Nabi Muhammad s.a.w. yang terakhir). Seluruh ayat dari surat Al Baqarah termasuk golongan Madaniyyah, merupakan surat yang terpanjang di antara surat-surat Al Quran yang di dalamnya terdapat pula ayat yang terpancang (ayat 282). Surat ini dinamai Al Baqarah karena di dalamnya disebutkan kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada BAni Israil (ayat 67 sampai dengan 74), dimana dijelaskan watak orang Yahudi pada umumnya. Dinamai Fusthaatul-Quran (puncak Al Quran) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surat yang lain. Dinamai juga surat alif-laam-miim karena surat ini dimulai dengan Alif-laam-miim.
Sebagaimana kita ketahui bawah khususnya dalam Surat Al-baqarah ayat 31-32 merupakan ayat yang sangat menarik untuk dibahas karena disitu ada sitilah yang kita kenal sekaran dengan Transfer of knowledge, Maka dari itu di dalam makalah ini kami akan membahas Surat Al-Baqarah ayat 31 -32

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini akan merumuskan pembahasan seputar ayat dan Makna QS. Al-Baqarah 31-32, Tafsir Mufradat, Kandungan dan Penafsiran Ayatnya.


BAB II
PEMBAHASAN


A.     Biografi Al-Maraghi
Al-Maraghi mempunyai nama lengkap Syekh Muhammad Mushthafa Al-Maraghi. Beliau lahir di Maraghi, Mesir pada abad ke-18 (1881-1945 M). Al-Maraghi berasal dari keluarga ulama yang intelektual. Al-Maraghi sejak kecil disuruh orang tuanya belajar Al-Qur'an dan bahasa Arab di kota kelahirannya (Mesir). Keluarga beliau berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdi ilmu pengetahuan dan pengadilan secara turun temurun. Sementara dari segi pendidikan sejak menginjak usia sekolah, beliau sudah belajar di Madrasah di samping menghafalkan Al-Qur'an, sehingga sebelum mencapai usia tiga belas tahun belaiu sudah hafal Al-Qur'an secara utuh dan baik.[1]
Selanjutnya beliau memasuki pendidikan dasar dan menengah di kota kelahirannya. Kemudian pada tahun 1314 H/1897 M, oleh kedua orang tuanya Al-Maraghi disuruh meninggalkan pergi ke Kairo. Terdorong oleh keinginan orang tuanya agar kelak menjadi ulama terkenal (terkemuka), ia disuruh untuk melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi, Darul Ulum di Kairo mulai tahun 1908, kemudian di Al-Azharlah beliau mendalami bahasa Arab, Tafsir, Hadis, Fiqh, Akhlak dan ilmu Falakh.[2]
Selama di Kairo, Al-Maraghi adalah seorang pelajar yang tekun dan merupakan salah seorang yang mendapatkan atsar (semangat) dari Syekh Abduh dalam dunia keilmuan, lebih-lebih keilmuan seputar ilmu-ilmu keislaman. Beliau termasuk salah seorang murid Syekh Abduh yang terus melangkah demi kemajuan Islam. Selama dalam bangku pendidikan hingga pada akhirnya keluar, dan mempunyai kecenderungan untuk meneruskan perjuangan selalu melekat pada diri Al-Maraghi.[3]
Syekh Al-Maraghi belajar di Madrasah Syekh Abduh, tidaklah selama Syekh Muhammad Ridha. Namun ia berhasil mewarisi pemikiran Abduh dengan baik dalam hal penafsiran, hingga menyentuh sisi-sisi kemanusiaan kaitannya dengan masalah amar ma’ruf nahi munkar, menyesuaikan misi persatuan dan perdamaian serta melestarikan nilai kemanusiaan dalam hidup bermasyarakat dan berpegang teguh pada prinsip dan semboyan hidup, yaitu “walhayat wannuur” (hidup bersama cahaya). Artinya tujuan beliau adalah bagaimana bisa hidup dan bisa memberi cahaya kepada umat.[4] Dalam masa studinya di Al-Azhar terlihat kecerdasan Al-Maraghi yang menonjol, sehingga ketika beliau menyelesaikan studinya (di Al-Azhar) pada tahun 1904.[5]
Setelah di perguruan itu karena kepintaran dan keahliannya, beliau langsung diangkat sebagai pengajar di perguruan tersebut dalam mata-mata pelajaran Syari’ah Islamiyah, beberapa tahun kemudian ia juga menjadi guru besar pada Fakultas Gardan di Khurthan Sudan, dalam mata kuliah bahasa Arab dan Syari’ah Islamiyah. Kemudian ia kembali ke Mesir pada tahun 1920 dan menduduki jabatan Kepala Mahkamah Tinggi Syari’ah pada bulan Mei tahun 1928, ia diangkat menjadi Rektor Al-Azhar.[6]
Sebagai ulama Al-Maraghi, kecenderungannya bukan hanya kepada bahasa Arab tetapi juga kepada ilmu Tafsir dan minatnya itu melebar sampai pada ilmu Fiqih. Pandangan-pandangannya tentang Islam terkenal tajam menyangkut penafsiran Al-Qur'an dalam hubungannya dengan kehidupan sosial dan pentingnya kedudukan akal dalam menafsirkan Al-Qur'an.
B.      Jabatan, Guru-guru dan Karya-karyanya
Setelah Al-Maraghi tamat dari pendidikannya di perguruan Al-Azhar, beliau menjadi guru di beberapa sekolah menengah. Kemudian diangkat menjadi direktur sebuah sekolah guru di Fayumi, kira-kira 300 Km di sebelah barat daya Cairo.[7]
Pada masa selanjutnya Al-Maraghi semakin mapan, baik sebagai birokrat maupun sebagai intelektual muslim. Beliau juga menjadi guru besar pada Fakultas Gardan di Khurtan Sudan, dalam mata kuliah bahasa Arab dan syari’ah Islamiyah. Selain itu, beliau juga menjadi Qadhi (hakim) di Sudan hingga sampai menjabat Al-Ustadz (1919). Kemudian beliau ke Mesir pada tahun 1920 dan menduduki jabatan Kepala Mahkamah Tinggi Syari’ah, pada bulan Mei 1928 beliau diangkat menjadi rektor Al-Azhar, padahal pada waktu itu beliau baru berumur 47 tahun. Sehingga Al-Maraghi tercatat sebagai rektor termuda sepanjang sejarah Universitas Al-Azhar.[8]
Sebagai ulama Al-Maraghi memiliki kecenderungan bukan hanya kepada bahasa Arab, tetapi juga kepada ilmu tafsir hingga melebar kepada ilmu fiqh. Pandangannya tentang Islam terkenal tajam menyangkut penafsiran Al-Qur'an dalam hubungannya dengan kehidupan sosial dan pentingnya kedudukan akal dalam menafsirkan Al-Qur'an. Dalam masa studinya telah terlihat kecerdasan Al-Maraghi yang menonjol. Diantara guru-guru beliau adalah Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Hasan Al-Adawi, Syekh Muhammad Bahis A-Muthi, dan Syekh Ahmad Rifa’i Al-Fayumi.[9]
Al-Maraghi adalah seorang yang produktif dalam menyampaikan pemikirannya lewat tulisan-tulisannya yang terbilang banyaknya, diantaranya karya-karyanya, antara lain adalah :
1.    Dalam bidang tafsir, Al-Maraghi memiliki karya yang sampai sekarang menjadi literatur wajib di berbagai perguruan tinggi di dunia yaitu Tafsir Al-Maraghi yang ditulis sejak permulaan tahun 1940/1941 hingga selesai selama sepuluh tahun. Tafsir tersebut terdiri dari 30 juz, atau tersusun 10 jilid. Setiap jilidnya terdiri dari tiga juz dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Selang kurang lebih 2 tahun setelah menamatkan kitab tafsir tersebut, beliaupun wafat pada tahun 1945.
2.    Dalam kecenderungan pada bidang fiqih, bukunya Al-Fath Al-Mubin fi Tabaqat al-Ushulliyin yang menguraikan tabaqat atau tingkatan ulama ushul.[10]

C.     Pembahasan Ayat
a.       Ayat dan Makna QS. Al-Baqarah 31-35









b.  Tafsir Mufradat

Kata ( ثم ) tsummah / kemudian pada firman-Nya : kemudian Dia memaparkannya kepada malaikat ada yang memahaminya sebagai waktu yang relatif lama antara pengajaran Adam dan pemaran itu, dan ada juga yang memahaminya bukan dalam arti selang waktu, tetapi sebagai isyarat tentang kedudukan yang lebih tinggi, dalam arti pemaparan serta ketidak mampuan malaikat dan jelasnya keistimewaan Adam as. melalui pengetahuan yang dimilikinya, serta terbuktinya ketetapan kebijaksanaan Allah menyangkut pengangkatan Adam as. sebagai kholifah, semua itu lebih tinggi nilainya dari pada sekedar informasi tentang pengajaran Allah kepada Adam yang dikandung oleh penggalan ayat sebelumnya .
Ucapan malaikat Maha Suci Engkau yang mereka kemukakan sebelum menyampaikan ketidaktahuan mereka, menunjukkan betapa mereka tidak bermaksud membantah atau memprotes ketetapan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, sekaligus sebagai tertanda “Penyesalan” mereka atas ucapan atau kesan yang ditimbulkan oleh pernyataan itu.
Firman-Nya : ( ) innaka anta al-‘alim al-hakim / sesungguhnya Engkau, Engkau Yang Maha Mengetahui (lagi) Maha Bijaksana, mengandung dua kata yang menunjukkan kepada mitra bicara yaitu huruf (ك) kaf pada kata ( إنك) innaka dan kata (أنت) anta. Kata anta oleh banyak ulama dipahami dalam arti penguat sekaligus untuk memberi makna pengkhususan yang tertuju kepada Allah swt. dalam hal ini pengetahuan dan hikmah, sehingga penggalan ayat ini menyatakan “Sesungguhnya hanya Engkau tidak ada selain Engkau” Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .
Kata (العليم) al-‘alim terambil dari akar kata (علم) ‘ilm yang menurut pakar-pakar bahasa berarti menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaannya yang sebenarnya. Allah swt. dinami (عالم) ‘alim atau (عليم) ‘alim karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang sekecil-kecilnya apapun. Pengetahuan semua makhluk bersumber dari pengetahuan-Nya : “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan dibelakng mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Baqarah : 255).
Kata (الحكيم) al-hakim dipahami oleh sementara ulama dalam arti Yang Memiliki hikmah, sedang hikmah lain berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Seorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai (حكيم) hakim, Hikmah juga diartikan sebaga sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang lebih besar dan atau mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar. Makna ini ditarik dari kata (حكمة) hakamah, yang berarti kendali karena kendali menghalangi hewan atau kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan.
c.       Kandungan dan Penafsiran Ayat


øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ

30.  Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."


Dalam ayat ini Allah menyampaikan keputusan-Nya kepada para malaikat tentang rencana penciptaan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting, karena malaikat akan di bebani sekian tugas menyangkut manusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya dan sebagainya. Penyampaian ini bisa jadi setelah penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk di huni manusia pertama (Adam) dengan nyaman.[11]
Mendengar rencana tersebut para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian atau bisa juga berdasarkan asumsi bahwa karena yang ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih mensucikan Allah SWT. Mendengar pertanyaan mereka, Allah menjawab singkat tanpa membenarkan atau menyalahkan, karena memang akan ada diantara yang diciptakannya itu berbuat seperti yang diduga malaikat. Allah hanya menjawab singkat, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.[12]
Menurut Muhammad Abduh ayat ini mengisyaratkan bahwa setelah menciptakan bumi, mengelola dan mengaturnya, memberikan kekuatan-kekuatan rohani yang dikehendakinya yang menjadi penegak bumi, serta menjadikan semacam kekuatan bagi masing-masing yang senantiasa berada padanya, Allah pun menciptakan manusia dengan dilengkapi kekuatan yang mampu membuat mereka dapat mengelola dan menata segala bentuk kekuatan serta menundukkanya untuk kemakmuran bumi.22[13]
Dengan kemampuan akal, manusia bisa mengelola alam semesta dengan penuh kebebasan. Manusia dapat berkreasi, mengolah pertambangan, tumbuhtumbuhan, dapat menyelidiki lautan, daratan dan udara serta dapat merubah wajah bumi yang tandus menjadi subur dan bukit yang terjal bisa menjadi dataran atau lembah yang subur. Dengan kemampuan akalnya, manusia juga dapat merubah jenis tanaman baru sebagai hasil cangkok, sehingga tumbuh pohon yang sebelumnya belum pernah ada. Semuanya ini diciptakan Allah yang maha kuasa untuk kepentingan umat manusia.[14]
Hal ini menunjukkan bahwa manusia dianugerahi oleh Allah dengan bakat-bakat dan keistimewaan dalam dirinya. Sehingga ia akan mampu melaksanakan funfsinya sebagai khalifah di muka bumi. Dengan segala kemampuannya, manusia akan dapat mengungkapkan keajaiban-keajaiban ciptaan Allah.
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ (#qä9$s% y7oY»ysö6ß Ÿw zNù=Ïæ !$uZs9 žwÎ) $tB !$oYtFôJ¯=tã ( y7¨RÎ) |MRr& ãLìÎ=yèø9$# ÞOŠÅ3ptø:$# ÇÌËÈ
Artinya 31.  Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"32.  Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[35]."[35]  Sebenarnya terjemahan Hakim dengan Maha Bijaksana kurang tepat, Karena arti Hakim ialah: yang mempunyai hikmah. hikmah ialah penciptaan dan penggunaan sesuatu sesuai dengan sifat, guna dan faedahnya. di sini diartikan dengan Maha Bijaksana Karena dianggap arti tersebut hampir mendekati arti Hakim. (QS. al-Baqarah: 31-32)

Ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugerahi Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda. Misalnya fungsi api, angin, air dan sebagainya. Dia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan di mulai denghan kata kerja, tetapi mengajarkannya terlebih dahulu nama-nama.
Sebagian ulama ada yang memahami pengajaran nama-nama kepada Adam dalam arti mengajarkan kata-kata. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ketika dipaparkan nama-nama benda itu, pada saat yang sama beliau mendengar suara yang menyebut nama benda itu pada saat dipaparkannya, sehingga beliau memiliki kemampuan untuk memberi kepada masing-masing benda nama-nama yang membedakannya dari benda yang lain. Pendapat ini lebih baik dari pendapat pertama. Ia pun tercakup oleh kata mengajar karena mengajar tidak selalu dalam bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata atau ide, tetapi dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta didik sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat melahirkan aneka pengetahuan.
Dengan demikian salah satu keistimewaan manusia adalah kemampuannya mengekspresikan apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya menagkap bahasa sehingga ini mengantarkannya untuk “mengetahui”. Di sisi lain kemampuan manusia merumuskan ide dan memberi nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.[15]
Di samping itu nama-nama segala benda yang oleh para ahli tafsir diartikan sifat segala sesuatu serta ciri-cirinya yang lebih dalam, segala sesuatu disini termasuk juga perasaan. Ciri-ciri dan perasaan tertentu yang berada di luar para malaikat oleh Tuhan diberikan pada sifat manusia. Dengan demikian manusia mampu menggunakan cinta kasih dan memahami arti cinta kasih dan dengan ini manusia membuat rencana serta berinisiatif, sesuai kedudukannya sebagai khalifah.[16]
Setelah mengajari Adam tentang segala macam nama, Allah mengemukakan hal itu kepada para malaikat dengan itu mereka mengetahui bahwa Adam (manusia) mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang tidak mereka ketahui dan manusia sanggup memegang kekhalifahan di bumi. Karakternya sebagai penumpah darah seperti dikhawatirkan malaikat tidak menghilangkan hikmah Allah menjadikan Adam (manusia) sebagai khalifah. Ucapan malaikat “Maha Suci Engkau“ yang mereka kemukakan sebelum menyampaikan ketidaktahuan mereka, menunjukkan betapa mereka tidak bermaksud membantah atau memprotes ketetapan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi, sekaligus sebagai pertanda “penyesalan“ mereka atas ucapan atau kesan yang ditimbulkan oleh pertanyaan itu.[17]
tA$s% ãPyŠ$t«¯»tƒ Nßg÷¥Î;/Rr& öNÎhͬ!$oÿôœr'Î/ ( !$£Jn=sù Nèdr't6/Rr& öNÎhͬ!$oÿôœr'Î/ tA$s% öNs9r& @è%r& öNä3©9 þÎoTÎ) ãNn=ôãr& |=øxî ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ãNn=÷ær&ur $tB tbrßö7è? $tBur öNçFYä. tbqãKçFõ3s? ÇÌÌÈ
Artinya: 33.  Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Dalam ayat sebelumnya Allah telah mengajarkan nama-nama benda pada Adam. Kemudian dalam ayat ini Allah membuktikan kemampuan khalifah (Adam) kepada malaikat. Allah memerintahkan Adam untuk memberitahukan nama-nama benda kepada malaikat.
Hikmah Tuhan mengajarkan nama-nama kepada Adam dan kemudian mengajarkannya kepada para malaikat adalah untuk memuliakan Adam dan mengutamakannya, sehingga malaikat tidak membanggakan diri dengan ilmu dan makrifatnya. Selain itu juga untuk menunjukkan rahasia ilmu yang tersimpan dalam perbendaharaan ilmu Allah yang Maha Luas dengan perantaraan lisan seorang hamba yang dikehendaki-Nya.[18]
Meskipun malaikat merupakan makhluk-makhluk suci yang tidak mengenal dosa, tetapi mereka tidak wajar menjadi khalifah, karena yang bertugas menyangkut sesuatu harus memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek pengetahuan yang berkaitan dengan tugasnya. Khalifah yang akan bertugas di bumi, harus mengenal apa yang ada di bumi, paling sedikit nama-namanya atau bahkan potensi yang dimilikinya. Hal ini tidak diketahui oleh malaikat, tetapi Adam mengetahuinya. Karena itu, dengan jawaban para malaikat sebelum ini dan penyampaian Adam kepada mereka terbuktilah kewajaran makhluk yang diciptakan Allah itu untuk menjadi khalifah di dunia.
Kekhalifahan di bumi adalah kekhalifahan yang bersumber dari Allah SWT, yang antara lain bermakna melaksanakan apa yang dikehendaki Allah menyangkut bumi ini. Dengan demikian pengetahuan atau potensi yang dianugerahkan Allah itu merupakan syarat sekaligus modal utama untuk mengolah bumi ini. Tanpa pengetahuan atau pemanfaatan potensi berpengetahuan, maka tugas kekhalifahan manusia akan gagal meskipun seandainya dia tekun ruku’, sujud dan beribadah kepada Allah. Melalaui kisah ini, Allah SWT bermaksud menegaskan bahwa bumi dikelola bukan semata-mata hanya dengan tasbih dan tahmid tetapi juga dengan amal ilmiah dan ilmu amaliah.[19]
øŒÎ)ur $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
Artinya 34.  Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.[20] (qs. Al baqarah: 34)

Setelah Allah membuktikan kemampuan Adam kepada para malaikat, selanjutnya Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk sujud kepada Adam sebagai penghormatan kepada sang khalifah yang dianugerahi ilmu dan mendapat tugas mengelola bumi.
Ini adalah penghormatan dalam bentuk paling tinggi kepada makhluk yang akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah. Akan tetapi manusia diberi rahasia yang bisa mengangkat derajatnya lebih tinggi daripada malaikat. Mereka diberi rahasia makrifat sebagaimana mereka diberi rahasia iradah yang merdeka untuk memilih jalan hidup. Berbagai macam tabiat dan kemampuannya untuk mengendalikan iradahnya dalam menghadapi jalan yang sulit dan keseriusannya mengemban amanah hidayah ke jalan Allah dengan usahanya yang khusus. Semua ini adalah sebagian rahasia penghormatan kepada mereka.[21]
Sujud secara bahasa berarti tunduk. Ungkapan paling kongkrit dari sujud ini adalah meletakkan kening di lantai (tanah). Ada dua makna sujud. Pertama, sujud penyembahan (sujud ibadah), yakni sujud yang hanya dilakukan seorang hamba kepada pencipta-Nya. Sujud ini hanya khusus kepada Allah saja. Kedua, sujud penghormatan (sujud takrim), yaitu sebuah sikap penghargaan dari makhluk kepada sesama makhluk yang mempunyai kelebihan. Sebagaimana sujud para malaikat kepada Adam.[22]
Mengenai sujud kepada Adam, ada beberapa pendapat:[23]
1.        Sujud untuk memuliakan Adam, bukan menyembahnya.
2.        Sujud tahiyyah kepada Adam, sebaigama dikatakan Ibnu Anbar bahwa sujud malaikat kepada Adam merupakan sujud tahiyyah bukan sujud ibadah.
3.        Sujud memuliakan Adam atas nama ibadah kepada Allah. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa firman ini bermakna sujudlah bagi Adam dengan perintah Allah dan ketetapan-Nya.
Ayat ini dapat menjadi dasar tentang kewajiban menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan, sebagaimana ayat 35 yang mempersilahkan Adam dan isterinya bertempat tinggal di surga. Hal ini menjadi syarat atas kewajaran ilmuan dan keluarganya mendapat fasilitas, yang tentu saja antara lain agar ia dapat lebih dapat mengembangkan ilmunya.
$uZù=è%ur ãPyŠ$t«¯»tƒ ô`ä3ó$# |MRr& y7ã_÷ryur sp¨Ypgø:$# Ÿxä.ur $yg÷ZÏB #´xîu ß]øym $yJçFø¤Ï© Ÿwur $t/tø)s? ÍnÉ»yd notyf¤±9$# $tRqä3tFsù z`ÏB tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÌÎÈ
35.  Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini[24] yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.(qs. Al baqarah:35)


Ayat ini berhubungan dengan kandungan ayat 30 sampai dengan ayat 34. seluruh ayat ini menguraikan satu episode dari kisah Adam. Dalam ayat ini Allah berfirman sebagai pemberitahuan mengenai perkara yang dengannya Adam dimuliakan Allah. Allah membolehkannya untuk mendiami surga dimana saja yang disukainya dan memakan yang diinginkannya dengan sepuas-puasnya yaitu berupa makanan yang menyenangkan, banyak dan baik.[25]

D.     Analisis Kritis
a.       Corak penafsiran dan karakteristiknya
Sejak awal Al-Maraghi duduk di bangku pendidikan, hingga menjadi ulama besar. Bagi Al-Maraghi bidang yang sangat digemari hingga menjadi spesifikasi dalam bidangnya adalah tafsir. Beliau begitu tak bosan-bosannya menekuni dunia tafsir. Dalam bidang bahasa Arab, kemahiran beliau untuk menulis dan meneliti uslub-uslub melalui ayat-ayat Al-Qur'an dan sunnah Rasul Saw, di samping paramasastra Arab yang berbentuk sya’ir maupun prosa. Maka, dengan demikian Al-Maraghi merasa berkewajiban untuk menuangkan hasil keterlibatannya dalam urusan bahasa Arab, sehingga lahir sebuah tafsir ayat-ayat Al-Qur'an Al-Hakim yang diberi nama tafsir Al-Maraghi.[26]
Dalam penafsiran Al-Maraghi selalu bersandar pada keterangan-keterangan dari kitab Allah Ta’ala, yang kemudian dihimpun dalam topik-topik (maudhu’) tersendiri disertai dengan tekhnisi penafsiran kaitannya antara tema-tema satu dengan yang lain, antara ayat dengan ayat. Beliau juga bersandar pada uslub lughah sunnatullah di alam semesta. Beliau juga mengacu pada penafsiran mufassirin dan dalam menafsirkan Al-Qur'an tidak menurut penafsirannya sendiri, akan tetapi beliau menafsirkan Al-Qur'an dengan mengacu pada kitab tafsir karya mufassirin. Ciri khas beliau selalu menampakkan kesalafannya, menghormati mufassir sebelumnya, yang kemudian sebagai acuan di dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Beliau menggunaan manhaj penafsiran seperti halnya penafsiran yang digunakan Muhammad Abduh dan diketemukan dalam tafsir Al-Maraghi.[27]
Tafsir Al-Maraghi dalam beberapa penjelasan sangat rinci, termasuk penjelasan kata-kata secara bahasa, jika memang terdapat kata-kata yang dianggap sulit dipahami oleh para pembaca, terhindar dari penyimpangan-penyimpangan penafsiran, kemudian mengelompokkan surat-surat yang ditafsirkan dalam bentuk juz, serta mengambil hadis-hadis Nabi yang shahih untuk dijadikan penguat dalam penafsirannya, serta menjauhi riwayat-riwayat yang dhaif dan juga yang mengandung isra’iloliyyat. Dalam menafsirkan Al-Qur’anpun beliau mementingkan sesuatu yang dianggap penting dalam hal menjelaskan rahasia-rahasia ajaran kebagusan Islam dan menguak hidayah-hidayahnya untuk umat Islam di negeri-negeri Islam.[28]
Metode yang digunakan dalam penulisan tafsirnya dapat ditinjau dari dua segi. Dari segi urutan pembahasannya al-Maraghi dapat dikatakan memakai metode tahlili, sebab pada mulanya ia memuat ayat-ayat yang dianggap satu kelompok, lalu menjelaskan pengertian kata-kata (tafsir al-mufradat), maknanya secara ringkas dan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) serta munasabah (kesesuaian atau kesamaannya), pada bagian akhir ia memberikan penafsiran yang lebih rinci mengenai ayat tersebut.[29]
Namun pada sisi lain bila ditinjau dari orientasi pembahasan dan model bahasa yang digunakan, maka dapat diaktakan tafsir al-Maraghi memakai metode adab al-ijtima’i, sebab diuraikan dengan bahasa yang indah dan menarik dengan berorientasi pada sastra, kehidupan budaya dan kemasyarakatan, sebagai suatu pelajaran bahwa Al-Qur'an diturunkan sebagai petunjuk dalam kehidupan individu maupun masyarakat.[30]
Al-Maraghi kurang sependapat corak dan orientasi kitab-kitab terdahulu yang hanya cenderung pada bidang studi ilmu tertentu, dengan mengabaikan bidang studi yang lain. Hal ini selain mempersempit makna Al-Qur'an juga kurang menyentuh tujuan utama Al-Qur'an sebagai petunjuk. Hal tersebut bukan berarti tafsir Al-Maraghi tidak memilih corak, selain cenderung ke arah corak penafsiran bil al-ma’tsur juga cenderung ke arah corah penafsiran bi al-ra’yi.[31]
Al-Maraghi berkeyakinan hanya dengan Al-Qur’anlah seorang muslim akan bisa mencapai kandungan makna atau pesan beserta usul (pokok) keumuman lafadz yang ada dalam Al-Qur'an itu sendiri. Beliau menafsirkan kitabullah (Al-Qur'an) semata-mata dalam rangka untuk memahami Al-Qur'an dan juga sebagai kontribusi pemikiran dalam hal menggali ilmu-ilmu keislaman kaitannya dengan ilmu tafsir.[32]

BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan

Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa Surat Al-Baqarah ayat 31-32 menginformasikan bahwa manusia dianugerahkani Allah potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, fungsi angin dan sebagainya. Dia juga dianugerahi potensi untuk berbahasa. Sistem pengajaran bahasa kepada manusia (anak kecil) bukan dimulai dengan mengajarkan kata kerja, tetapi mengajarnya terlebih dahulu nama-nama. Ini Papa, ini Mama, itu pena dan sebagainya. Itulah sebagian makna yang dipahami oleh para ulama dari firman-Nya : Dia mengajar Adam nama-nama (benda) seluruhnya. Hal ini pun ditegaskan oleh Hadits tentang syafa’atul uzhma. Nabi saw. bersabda :
“ … lalu mereka datan kepada Adam seraya berkata, Engkau adalah bapak manusia, Allah telah menciptakanmu dengan tangan kekuasaan-Nya, Dia membuat para malaikat bersujud kepadamu, dan Dia mengajarimu nama-nama seluruh perkara ” (HR. Bukhari)






DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002),.

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, (Jakarta : Gema Insani, 1999),

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an I, (Jakarta : Gema Insani, 2000),

Abdul Hadziq, Deskripsi Tentang Tafsir Al-Qur'an Abad XX, Jurnal Theologia, No. 16, Desember 1992,

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cet. 2, 1994,.

Muh. Husain Adz-Dzahabiy, Tafsir Wa al-Mufassirun, Dar Al-Qutub Al-Hadis, Kairo, Juz. II, 1976,

Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, PT. Djambatan, Jakarta, 1992,

Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, CV. Toha Putra, Semarang, Juz I, 1986.



[1]Abdul Hadziq, Deskripsi Tentang Tafsir Al-Qur'an Abad XX, Jurnal Theologia, No. 16, Desember 1992, hlm. 8.
[2]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, Cet. 2, 1994, hlm. 164.
[3]Muh. Husain Adz-Dzahabiy, Tafsir Wa al-Mufassirun, Dar Al-Qutub Al-Hadis, Kairo, Juz. II, 1976, hlm. 590.
[4]Ibid, hlm. 591.
[5]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Loc. cit.
[6]Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, PT. Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 618.
[7]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.cit, hlm. 165.
[8]Ibid, hlm. 166.
[9]Ibid, hlm. 164.
[10]Ibid, hlm. 165.
[11] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,( Jakarta : Lentera Hati, 2007 ), hlm. 141
[12] Ibid. hlm. 142
[13] Tengku Muhammad Hasybi Ash Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, ( Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000 ),hlm. 73
[14] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Beirut: Darul Kutub, tt.,) hlm.hlm. 134
[15] M.Quraish Shihab, op.cit,. hlm.146-147
[16] Abdullah Yusuf Ali, Terjemah The Holy Qur’an,( Jakarta, Pustaka Firdaus: 1993 ), hlm. 24
[17] M.Quraish Shihab, op.cit,. hlm.147
[18] Teuku M. Hasbi As-Shidiqie, op. cit; hlm. 76
[19] M. Quraish Shihab, op.cit.,hlm. 150-151
[20] sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.
[21] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di Bawah Naungan al-Qur’an, Terj. As’ad Yasin
dkk,( Jakarata : Gema Insani Press, 2000 ), hlm. 97
[22] A. Mustain Syafi’i, Tafsir Qur’an Bahasa Koran,( Surabaya : Harian Bangsa, 2004 ) , hlm. 195
[23] Teuku M. Hasby As-Shidiqie, Tafsir al-Bayan I ( Semarang : Thoha Putra, 1977 ), hlm. 193
[24]  pohon yang dilarang Allah mendekatinya tidak dapat dipastikan, sebab Al Quran dan Hadist tidak menerangkannya. ada yang menamakan pohon khuldi sebagaimana tersebut dalam surat Thaha ayat 120, tapi itu adalah nama yang diberikan syaitan.
[25] M. Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terj. Shihabuddin ( Jakarta : Gema Insani Press, 2001 ) , hlm. 111
[26]Muh. Husain Adz-Dzahabiy, Tafsir Wa al-Mufassirun, Op.cit, hlm. 594.
[27]Ibid, hlm. 597.
[28]Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, CV. Toha Putra, Semarang, Juz I, 1986., hlm. 16.
[29]Ibid, hlm. 19.
[30]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op.cit, hlm. 166.
[31]Abdul Hadziq, Op.cit, hlm. 12.
[32]Ibid, hlm. 13.

No comments:

Post a Comment